Rakyat Butuh Sembako Murah! Jangan BBM Aja yang Dipikirin...

Maesaroh, CNBC Indonesia
24 June 2022 13:40
Pupuk Sriwijaya (Dok. Pusri)
Foto: Pupuk Sriwijaya (Dok. Pusri)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah tengah berupaya menekan defisit anggaran agar lebih kecil dari pada yang ditetapkan dalam APBN 2022. Namun, ada sejumlah pos anggaran yang kini justru membutuhkan tambahan belanja sehingga defisit tidak bisa ditekan seperti yang direncanakan.

APBN hingga Mei 2022 masih mencatatkan surplus sebesar Rp triliun atau 0,74% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran atau SiLPA juga masih menumpuk Rp 215 triliun.

Kondisi tersebut membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani optimis bahwa realisasi defisit anggaran kemungkinan akan lebih rendah dibandingkan yang ditetapkan dalam APBN yakni Rp 868 triliun atau 4,85% dari PDB. Dengan ruang defisit yang lebih longgar, pemerintah sebenarnya masih bisa menambah anggaran untuk subsidi atau pos anggaran lainnya. Namun, pemerintah juga berjanji akan membawa defisit pelan-pelan ke bawah 3,0% dari PDB atau sesuai ketentuan Undang-undang mulai 2023.

Kepala ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan sejumlah pos anggaran sebenarnya membutuhkan tambahan belanja, terutama subsidi pupuk yang masuk dalam anggaran kedaulatan pangan. Pasalnya, harga pupuk melonjak tajam. Rusia merupakan pemasok utama pupuk sehingga harga pupuk pun langsung melonjak begitu perang meletus.

"Alokasi subsidi BBM sudah sangat besar, yang perlu diamankan itu pangan. Subsidi pupuk tetap Rp 25 triliun padahal harga pupuk sangat tinggi. Kalau tidak ada tambahan subsidi maka harga pangan sangat tinggi," tutur David, kepada CNBC Indonesia.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan anggaran kedaulatan pangan termasuk subsidi pupuk terus menurun tiap tahunnya. Pada 2015, realisasi anggaran tersebut tercatat Rp 111,6 triliun sementara pada 2016 sebesar Rp 100,7 triliun, pada 2017 sebesar Rp 101,6 triliun, 2018 sebesar Rp 105,4 triliun, 2019 sebesar Rp 100,2 triliun, dan pada 2020 sebesar Rp 73,6 triliiun. Sementara itu, pada APBN 2021 dan 2022 dianggarkan sebesar Rp 99 triliun dan Rp 92,2 triliun.


Peringatan serupa sudah disampaikan Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Daniel Johan. Dia mengingatkan lonjakan harga pupuk akan sangat memberatkan, baik bagi petani ataupun konsumen. Bagi petani, keuntungan mereka menipis atau bahkan tidak ada sama sekali. Sementara itu, masyarakat akan membayar produk pangan lebih mahal sehingga inflasi bisa naik.

Melansir data Trading Economics, harga urea urea-ammonium mencapai EUR 582,50 per ton per kemarin. Harga tersebut sudah melonjak 133% dalam setahun.

"Yang paling mengkhawatirkan itu harga pupuk. Ini dampaknya sangat serius kepada petani. Saat ini kita belum merasakan karena stok pangan yang ada adalah hasil panen sebelumnya. Dengan harga pupuk yang sekarang mahal, hasil panen kemudian juga akan mahal," tutur Daniel Johan, dalam Profit , CNBC Indonesia (Selasa, 21/06/2022).

Meski pos subsidi pupuk membutuhkan tambahan anggaran, David mengakui sulit bagi pemerintah untuk menaikkan porsi anggarannya. Pasalnya, pemerintah dan DPR sudah menyetujui sejumlah perubahan anggaran pada pertengahan Mei lalu, termasuk untuk menaikkan subsidi energi dan perlindungan sosial.

"Mungkin bisa realokasi atau geser-geser anggaran tapi kan anggaran sudah diketok," imbuhnya.

Meski memiliki ruang defisit longgar, David menilai perlu bagi pemerintah untuk menyiapkan diri dengan defisit yang lebih kecil. Seperti diketahui, pemerintah harus mengembalikan defisit APBN maksimal 3% PDB pada tahun depan.

Kepala ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro juga mengatakan windfall dari harga komoditas sebaiknya disalurkan kepada kelompok yang paling membutuhkan dan rentan terhadap gejolak harga. Sebagai mana diketahui, pemerintah memperkirakan akan ada penerimaan tambahan sebesar Rp 420 triliun sebagai dampak lonjakan harga komoditas.

"Windfall dari harga komoditas ini memang sebaiknya disalurkan kepada targeted subsidy (among for the vulnerables), bukan ke inflasi by komoditas," tutur Andry kepada CNBC Indonesia.

Andry juga menambahkan pemerintah masih bisa menekan defisit anggaran sekaligus juga menambah anggaran perlindungan sosial. Pasalnya, penerimaan negara akan cukup besar.

"Saya rasa dua-duanya bisa dicapai karena windfall dari komoditas kita besar. Dengan windfall yang ada bisa menambah social assisstance juga," ujarnya.

Bank Dunia dalam laporan terbarunya Global Economic Prospects mengatakan negara eksportir komoditas seperti Indonesia dan Malaysia sangat diuntungkan oleh lonjakan harga komoditas. Kedua negara masih bisa menata fiskalnya lebih baik dan bisa merencanakan kebijakan fiskal lebih longgar dalam jangka menengah karena mendapat limpahan penerimaan.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Transformasi Bisnis, Laba Pupuk Indonesia Rp 5 T Naik 120%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular