Masih Punya Banyak PR di Bidang Pangan, RI Aman dari Krisis?

Maesaroh, CNBC Indonesia
22 June 2022 18:15
Jokowi Tanam Bibit dan Tinjau Panen Sorgum, Sumba Timur, 2 Juni 2022. (Tangkapan Layar Youtube)
Foto: Jokowi Tanam Bibit dan Tinjau Panen Sorgum, Sumba Timur, 2 Juni 2022. (Tangkapan Layar Youtube)

Jakarta, CNBC Indonesia- Perubahan iklim, pandemi Covid-19, dan perang Rusia-Ukraina memicu krisis pangan di tingkat global. Strategi pemerintah dalam menjaga kedaulatan pangan dan stabilitas harga pun kini menjadi taruhan di tengah krisis tersebut.

Ketua Dewan Pembina Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Rahmat Pambudy mengatakan pengalaman membuktikan Indonesia selamat dari krisis pangan ataupun ekonomi pada tahun 1970an dan saat Krisis Moneter 1997/1998.

Namun, bukan berarti Indonesia bisa berleha-leha karena Indonesia memiliki banyak pekerjaan rumah (PR) dalam persoalan kedaulatan pangan.

"Kita ini persoalannya pada manajemen, baik manajemen produksi, distribusi atau manajemen penyimpanan pada sistem agri kita," tutur Pambudy dalam Profit, CNBC Indonesia (Rabu, 22/06/2022).

Pambudy menjelaskan selama ini pemerintah hanya berfokus pada strategi non-harga dalam menjaga harga pangan di Indonesia. Di antaranya adalah dengan memberikan subsidi pupuk.

Namun, strategi harga kurang bisa diterapkan terutama saat harga-harga melonjak seperti halnya pada kasus minyak goreng dan cabai.
Global Food Security Index menempatkan Indonesia pada posisi 69 dari 113 dalam persoalan ketahanan pangan. Indonesia kalah jauh dari tetangga nya seperti Malaysia (39) ataupun Thailand (51). Indonesia dinilai memiliki PR banyak untuk memberesi persoalan infrastruktur pertanian serta distribusi pangan.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan anggaran kedaulatan pangan menurun tiap tahunnya di tengah upaya pemerintah meningkatkan ketahanan pangan.
Pada 2015, realisasi anggaran tersebut tercatat Rp 111,6 triliun sementara pada 2016 sebesar Rp 100,7 triliun. Pada APBN 2021 dan 2022 pemerintah hanya menganggarkan Rp 99 triliun dan Rp 92,2 triliun.

Bustanul Arifin, Guru Besar Tetap Ilmu Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung (Unila), mengatakan pemerintah sebenarnya sudah mengantisipasi krisis pangan, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi, terutama di luar Jawa. Namun, strategi tersebut terbilang selalu terlambat dalam merespon penawaran sehingga mendorong lonjakan harga pangan.

Ketidaksinkronan pasokan dan penawaran ini kerap menimbulkan persoalan sehingga impor menjadi pilihan. Persoalan ini ditemui pada komoditas kedelai serta cabai.

Sebanyak 86,4% kebutuhan kedelai domestik didatangkan dari luar negeri sehingga harga di dalam negeri langsung melonjak begitu harga di pasar internasional naik atau pasokan terganggu.

Berdasarkan proyeksi Kementerian Pertanian, produksi kedelai Indonesia pada tahun 2021 diharapkan menembus 613.318 ton dengan luas lahan sekitar 362,612 hektare. Pada tahun 2020, produksi diperkirakan 632.326 ton dengan luas lahan 381.311 hektare.

Produksi tersebut tentu tidak berimbang dengan kebutuhan nasional yang diperkirakan mencapai 7,2 juta ton.

Output komoditas panganFoto: Kementerian Keuangan
Output komoditas pangan

Bustanul mengatakan strategi intensifikasi memang sudah mulai menunjukkan hasil. Namun, strategi tersebut hanya berhasil untuk beberapa komoditas saja seperti padi.  Produktivitas padi pada 2021 tercatat 5,23 ton per hektar, meningkat dari 1,96 ton per hektar pada 2020.

"Perlu dilakukan intervensi lebih detail pada setiap komoditas pangan. Perlu juga peningkatan produktivitas jagung di hulu dan integrasi dengan industri pakan ternak. Juga, perbaikan produksi kedelai kualitas tinggi," tutur Bustanul, kepada CNBC Indonesia.

Dalam APBN 2022, pemerintah menetapkan sejumlah target untuk menjaga kedaulatan pangan. Di antaranya adalah produksi padi sebanyak 55,2 juta ton, produksi jagung sebanyak 20,1 juta ton, produksi daging sapi dan kerbau sebanyak 0,44 juta ton.

Untuk mendukung target tersebut, pemerintah telah merencanakan sejumlah langkah seperti pembangunan jaringan irigasi seluas 5.000 hektare, pembangunan bendungan lanjutan sebanyak 39 unit dan pembangunan bendungan baru sebanyak 5 unit, serta rehabilitasi jaringan irigasi seluas 100.000 hektare.
Pemerintah juga akan mengembangkan 200 unit lumbung pangan dan 90 balai benih oleh daerah.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Azizah Fauzi mengingatkan ekstensifikasi melalui pembukaan lahan bukanlah solusi terbaik untuk meningkatkan ketahanan pangan mengingat terbatasnya jumlah lahan yang tersisa serta potensi rusaknya lingkungan yang mungkin ditimbulkan.

Azizah mengatakan pemerintah sebaiknya tidak mengulang kesalahan dengan menciptakan program pencetakan sawah secara masif seperti pada Proyek Pengembangan Lahan Gambut Satu Juta Hektar di Kalimantan Tengah yang pernah dilakukan di bawah pemerintahan Presiden Soeharto.

Pemerintah sebaiknya lebih fokus meningkatkan kapasitas petani dengan melalui pelatihan, penyuluhan dan bimbingan soal penggunaan alat-alat pertanian yang lebih efisien dan pembaharuan metode tanam.

"Investasi untuk peralatan pasca panen seperti mesin pengering juga penting demi meningkatkan kualitas beras yang kini menjadi makanan pokok bagi mayoritas masyarakat Indonesia," tutur Azizah, kepada CNBC Indonesia.

Pemerintah juga perlu memikirkan bagaimana memberikan petani akses permodalan yang skema pembayarannya ramah terhadap kegiatan bercocok tanam mereka.

Memastikan akses petani terhadap input pertanian berkualitas juga sangat penting, misalnya melalui skema Kartu Tani dan memastikan distribusi pupuk subsidi yang tepat sasaran dan harga pupuk subsidi bisa tetap terjangkau.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Sembako Dunia Turun! Cuma Sementara atau Tahan Lama?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular