Kebutuhan LPG Diprediksi Nanjak 2025, DME Sanggup Ganti Gak?

Verda Nano Setiawan, CNBC Indonesia
30 May 2022 17:30
INFOGRAFIS, Proyek Gasifikasi RI
Foto: Infografis/Gasifikasi RI/Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah tengah berupaya menggenjot program hilirisasi di sektor pertambangan batu bara. Salah satunya melalui proyek gasifikasi, yakni mengolah batu bara kalori rendah menjadi Dimethyl Ether (DME).

Kegunaan DME sendiri diharapkan sebagai pengganti liquefied petroleum gas (LPG) 3 Kg untuk kebutuhan memasak. Pasalnya, berdasarkan catatan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, impor LPG dalam lima tahun terakhir terus meningkat.

Bahkan pada 2019 impor LPG mencapai 5,7 juta ton atau senilai US$ 2,5 miliar. Lantas, di tengah kondisi perekonomian dunia yang penuh ketidakpastian, bagaimana kira kira proyeksi dari pengembangan program hilirisasi ini ke depan?

Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF), Singgih Widagdo menilai bahwa dalam Grand Strategy Energi Nasional (GSEN), telah dipetakan agar perusahaan batu bara yang ingin mendapatkan perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) diarahkan untuk membangun hilirisasi. Salah satunya yakni berupa Dimethyl Ether (DME).

Alasannya cukup jelas, mengingat dari konsumsi LPG 2020 sebesar 8,0 juta ton, 6,1 juta (76%) masih impor. Sehingga Pemerintah kehilangan devisa sebesar Rp 55,7 triliun.

Singgih memproyeksikan pada 2025, kebutuhan LPG meningkat menjadi sekitar 8,8 juta ton. Dengan merencanakan DME oleh IUPK, sampai 2030 diharapkan semua kebutuhan DME dapat dipenuhi dari dalam negeri atau minimal akan berkurang jauh.

Namun demikian, dengan kondisi ketidakpastian global, maka proyeksi pengembangan hilirisasi diperlukan evaluasi yang mendalam. Namun, tidak sampai harus merubah bentuk di luar apa yang telah menjadi komitmen dalam GSEN.

"Bisa saja menjadi ruang terbuka dapat didiskusikan selama proses perpanjangan PKP2B menjadi IUPK dilakukan. Namun, bukan menghapus, mengingat masalah ini telah menjadi amanah UU Minerba yang harus dijalankan pemerintah," kata dia kepada CNBC Indonesia, belum lama ini.

Ia pun berpendapat untuk melakukan kewajiban hilirisasi, masalah teknologi saat ini menjadi tantangan tersendiri. Kemudian, kepastian usaha dalam hilirisasi dan kondisi perhitungan keuangan investasi serta dukungan lembaga keuangan juga dibutuhkan.

"Saya yakin dengan komunikasi selama proses perpanjangan menjadi IUPK, akan dapat menemukan kondisi pilihan hilirisasi yang akan dijalankan, serta sekaligus Pemerintah dalam mendukung atas kebijakan fiskal dan non fiskal agar hilirisasi tersebut dapat dilakukan dalam konteks perhitungan bisnis yang masuk akal," kata dia.

Menurut Singgih pada intinya, pilihan hilirisasi yang menjadi kewajiban IUPK sebagai perpanjangan PKP2B tetap harus diletakkan pada masalah teknologi. Kemudian besarnya investasi, mampu memperkecil ketergantungan terhadap impor bahan baku industri dan energi.

"Selain dari pemerintah juga harus terbuka terhadap permintaan akan kebijakan fiskal dan non fiskal yang bisa jadi akan lebih seperti yang selama ini telah diberikan pemerintah," ujarnya.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Australia Jadi Saingan RI Pasok Batu Bara ke Jerman

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular