Kini Makin Merajalela, Tambang Ilegal Seharusnya Sudah Lama Diberantas

Verda Nano Setiawan, CNBC Indonesia
29 July 2025 13:35
Kondisi tanah longsor dan evakuasi korban pada kawasan tambang ilegal di di Nagari Sungai Abu, Kecamatan Hiliran Gumanti, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat. (Dok. PVMBG)
Foto: Kondisi tanah longsor dan evakuasi korban pada kawasan tambang ilegal di di Nagari Sungai Abu, Kecamatan Hiliran Gumanti, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat. (Dok. PVMBG)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF) menilai bahwa praktik pertambangan ilegal seharusnya sudah lama diberantas. Hal tersebut menyusul pemberitaan baru-baru ini mengenai maraknya tambang ilegal di Indonesia.

Bahkan, praktik tambang batu bara ilegal belum lama ini juga ditemukan di kawasan Ibu Kota Negara Nusantara (IKN), Kalimantan Timur. Tepatnya, di wilayah Taman Hutan Raya (Tahura) Soeharto, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara yang merupakan area pembangunan IKN.

Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengungkapkan keprihatinannya terhadap maraknya praktik penambangan tanpa izin (PETI) yang justru mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) demi keuntungan oknum, bukan untuk kesejahteraan rakyat.

"Sangat menyakitkan, sumber daya alam yang semestinya dikelola untuk kesejahteraan rakyat, ironisnya dimainkan sebatas untuk kepentingan oknum. Bagi saya di kawasan IKN maupun di luar IKN pada dasarnya sama saja," kata Singgih kepada CNBC Indonesia, Selasa (29/7/2025).

Menurut Singgih, harus diakui bahwa kegiatan pertambangan dan lingkungan hidup sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, sehingga kegiatannya sangat rentan terhadap potensi kerusakan lingkungan.

"Yang dipikirkan sebatas bagaimana keuntungan secepat mungkin dapat segera diperoleh. Yang lebih memprihatinkan dan bahkan menyakitkan, justru tambang ilegal sampai ditemukan di kawasan IKN, yang semestinya jauh mendapatkan pengawasan," tambahnya.

Ia lantas menyoroti bahwa persoalan utama bukan soal lokasi, melainkan potensi dan kondisi tambang itu sendiri. Apalagi, potensi sumber daya mineral seperti batubara, emas, dan lainnya, sangat jelas sebarannya secara geologis.

Bahkan, wilayah IUP (izin usaha pertambangan) pun sudah dimiliki Kementerian ESDM. Oleh karena itu, potensi keberadaan tambang ilegal seharusnya sudah dapat diketahui.

Namun demikian, Singgih menilai tidak adil jika hanya Kementerian ESDM yang disalahkan atas maraknya tambang ilegal. Sebab, dalam UU Minerba, penambangan tanpa izin sudah jelas merupakan tindak pidana, dengan sanksi administratif dan pidana yang melekat.

"Sehingga sangat jelas, yang terjadi adalah lemahnya sisi pengawasan. Dan tidak fair kalau kita sebatas menyalahkan ESDM sebagai pihak yang paling utama harus menjadi sumber daya minerba. Mengingat berdasarkan hukum positif, sangat jelas penambangan ilegal sebagai tindak pidana yang jelas dilarang UU Minerba," katanya.

Singgih mengatakan, lemahnya sanksi dan penegakan hukum menjadi penyebab utama praktik tambang ilegal ini terus berulang. Ia menilai lambannya penindakan dan mengindikasikan adanya permainan oknum di balik lemahnya pengawasan.

"Akhirnya untuk memberantas tambang ilegal, pada dasarnya harus diawali mau atau tidak mau dalam memberantas pertambangan ilegal," kata Singgih.

Secara struktural, Kementerian ESDM sendiri telah membentuk Direktur Jenderal Penegakan Hukum (Dirjen Gakkum), yang salah satu tugasnya memperkuat pengawasan terhadap tambang ilegal di seluruh Indonesia. Reformasi sektor pertambangan melalui pembentuk Dirjen Gakkum, semestinya menjadi awal memberantas pertambangan ilegal.

"Namun amat sangat tidak efektif kalau kita sebatas menyerahkan tugas memberantas pertambangan ilegal oleh Dirjen Gakkum. Sisi pengawasan oleh Dirjen lainnya dan bahkan pihak Kepolisian harus terintegrasi dalam memberantas pertambangan ilegal," kata Singgih.

Ia menyarankan penegakan hukum tindak pidana penambangan ilegal harus melalui langkah preventif maupun represif. Preventif dengan meningkatkan pengawasan dan monitoring pertambangan.

"Persoalan minimnya kuantitas dan kualitas personil pengawasan pertambangan (inspektur tambang) mutlak harus diselesaikan. Represif yaitu penindakan hukum yang tegas dan profesional oleh kepolisian dan PPNS Minerba," ujar Singgih.

Selain itu, penegakan hukum tambang ilegal juga harus diupayakan dengan cara membenahi berbagai faktor, termasuk faktor hukumnya, penegak hukumnya, sarana prasarananya, masyarakatnya, serta faktor kebudayaannya.

"Terkait besarnya kerugian negara, nilai absolutnya tentu saya tidak memiliki data. Namun jelas negara akan dirugikan atas potensi hilangnya pendapatan dari PNBP, pajak korporasi seandainya tambang dikelola secara legal," tutupnya.

Sebagai informasi, praktik Pertambangan Tanpa Izin (PETI) alias tambang ilegal semakin marak dan menjamur. Mirisnya, sejumlah aktivitas ini tidak hanya berlangsung di area terpencil, melainkan juga terjadi di wilayah konsesi perusahaan tambang pelat merah.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, per November 2024 lalu, setidaknya sekitar 2.000 titik tambang ilegal atau Pertambangan Tanpa Izin (PETI) tersebar di Indonesia. Maraknya tambang ilegal ini tak ayal membuat negara diperkirakan merugi hingga triliunan rupiah.

Adapun dari kasus tambang ilegal di IKN saja, Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri mengungkapkan, kerugian negara akibat adanya aktivitas pertambangan batu bara ilegal di wilayah IKN Nusantara ini mencapai Rp 5,7 triliun.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 4 Pekerja Tambang Ilegal Tewas Tertimbun, ESDM Buka Suara

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular