REVIEW KEBIJAKAN

Pajak Karbon: Inkonsistensi antara Filosofi dan Implementasi

Feri Sandria, CNBC Indonesia
24 May 2022 15:55
Gedung Kementerian Keuangan Dirjen Pajak. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Gedung Kementerian Keuangan Dirjen Pajak. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Di balik dampak buruk pajak karbon terhadap perekonomian, yang sejauh ini belum diantisipasi melalui kebijakan publik yang jelas dan terukur (guna memastikan efek buruk bagi rakyat tak mengada), ada persoalan lain dalam penerapan pajak karbon yang secara filosofis keliru.

Menurut pemerintah, pajak karbon dikenakan dengan menganut prinsip keadilan (just) dan keterjangkauan (affordable) dengan memperhatikan iklim usaha dan masyarakat kecil. Dana yang terkumpul akan dipakai utamanya untuk membiayai program pengendalian perubahan iklim, dan subsidi EBT.

"Kami yakin ini bisa jadi pendorong berkembangnya EBT di Indonesia," papar Peneliti Ahli Madya BKF Kementerian Keuangan Joko Tri Haryanto dalam Webinar Investasi Energi Baru dan Terbarukan dalam Pengembangan Biomassa di Indonesia, pada Rabu (16/02/2022).

Jika bicara keyakinan, Joko juga perlu ingat bahwa Eropa dulu sangat yakin bahwa pajak karbon yang dijalankan sejak 1 dekade terakhir bisa mempercepat transisi dari energi fosil ke EBT. Namun seperti yang kita lihat sekarang di Eropa, justru ironilah yang tercipta.

Di sisi lain, prinsip keadilan yang hendak dijalankan pun tak sepenuhnya dijalankan. Sebagaimana diketahui, putaran pertama pajak karbon akan diberlakukan untuk PLTU yang menghasilkan emisi melebihi batas atas yang ditetapkan. Skemanya adalah cap and tax.

Namun, terjadi ketidakadilan karena pajak karbon hanya dikenakan pada PLTU dan bukan pada pembangkit listrik lain baik yang bersumberkan tenaga surya (PLTS), bayu (PLTB), panas bumi (PLTP), dan bahkan berbasis gas (PLTG). Padahal, semuanya memiliki jejak karbon dan memiliki efek rumah kaca.

Studi terbaru, misalnya, menunjukkan bahwa PLTG menghasilkan efek rumah kaca yang lebih buruk ketimbang PLTU, sebagaimana diungkap dalam makalah penelitian berjudul "Climate Impacts of Fossil Fuels in Today's Energy Systems"(2022).

"Tambahan metana dalam atmosfer tidak menguntungkan kehidupan tanaman dan, seperti yang telah disampaikan, ia adalah GRK yang lebih potensial memicu pemanasan global [ketimbang CO2]," tulis Lars Schernikau dan William Hayden Smith dalam riset tersebut.

qSumber: Lars Schernikau

Ketimpangan terjadi karena filosofi pengenaan pajak karbon hanya mengacu pada ada-tidaknya pembakaran (combustion) dalam pembangkitan listrik. Fakta bahwa ada jejak karbon atau metana ditemukan dalam proses produksi dan pengangkutan solar panel, bilah PLTB, semen PLTP dan PLTG diabaikan.

Bias demikian, menurut Lars dan William, berpeluang membuat kebijakan perubahan iklim seperti pajak karbon menjadi salah alamat: mencekik PLTU yang gas emisinya bisa ditekan dengan teknologi ultra super-critical (USC) dan bahkan diserap tumbuhan, sementara emisi metana yang lebih berbahaya justru dibiarkan memicu efek rumah kaca.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular