REVIEW KEBIJAKAN

Pajak Karbon: Inkonsistensi antara Filosofi dan Implementasi

Feri Sandria, CNBC Indonesia
24 May 2022 15:55
Penduduk Kharkiv menghabiskan hari di bawah tanah di stasiun metro pada (15/5/2022) di Kharkiv, Ukraina. Meskipun penembakan Rusia sebagian besar telah berhenti di kota, daerah perumahan hancur, termasuk bangunan apartemen besar era Soviet, yang sering menampung manula dengan pendapatan tetap dan keluarga dengan sumber daya terbatas. (Getty Images/John Moore)
Foto: Penduduk Kharkiv menghabiskan hari di bawah tanah di stasiun metro pada (15/5/2022) di Kharkiv, Ukraina. Meskipun penembakan Rusia sebagian besar telah berhenti di kota, daerah perumahan hancur, termasuk bangunan apartemen besar era Soviet, yang sering menampung manula dengan pendapatan tetap dan keluarga dengan sumber daya terbatas. (Getty Images/John Moore)

Meski bertujuan positif, penerapan pajak karbon berdampak negatif apabila dilakukan tergesa-gesa, apalagi jika hanya ditujukan untuk memburu kenaikan penerimaan negara tanpa kalkulasi yang matang atas ongkosnya terhadap perekonomian.

Kita perlu melihat Prancis. Pajak karbon yang berlaku sejak 2014 lalu dinaikkan lagi pada 2018. Tak disangka, kaum menengah Prancis-baik aktivis lingkungan ataupun bukan, bergabung dalam massa rompi kuning (yellow vest), untuk menolak kenaikan tersebut.

Penerapan pajak karbon memang bisa menimbulkan kenaikan harga energi (baik BBM maupun listrik) karena bertambahnya ongkos produksi. Daya beli masyarakat melemah karena tingginya harga barang dan biaya transportasi, sementara pelaku usaha sulit bersaing di pasar ekspor.

Dari sini, kesejahteraan masyarakat terdampak langsung. Kenaikan biaya akibat pajak karbon mendorong pengusaha mengurangi pengeluaran, agar tetap kompetitif. Karena variabel pengeluaran yang paling mudah dipangkas adalah karyawan, pengangguran pun merajalela.

Kini, penerapan pajak karbon kian menghadapi dilema setelah pecah perang antara Rusia dan Ukraina yang didukung Blok Barat. Pajak karbon yang diidam-idamkan menjadi solusi transisi energi justru menjadi 'senjata makan tuan'.

Permintaan energi terkerek naik karena ekonomi berangsur membaik setelah pelonggaran pembatasan sosial diberlakukan. Faktor lain yang mengerek permintaan adalah datangnya musim dingin saat itu dan gangguan rantai pasokan karena efek karantina wilayah (lockdown).

Namun dari segi pasokan, suplai terbatas karena faktor politis, yakni embargo pasokan minyak dan gas (migas) asal Rusia. Semua harga energi fosil pun meningkat, mulai dari minyak mentah, batu bara hingga gas.

Batu bara sangat berharga bagi Jerman sebagai pengimpor terbesar batu bara Rusia, bersama Polandia dan Hungaria. Pada 2021, Jerman membayar Rusia sekitar 2,2 miliar euro (US$ 2,4 miliar), setara dengan 50% konsumsi batu bara Rusia di Eropa tiap tahunnya.

Ini menjadi potret bahwa transisi dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT) tak semudah yang sering dipromosikan. Faktor keekonomian menjadi alasan terbesarnya. Tenaga surya dan bayu terbukti tak bisa serta-merta menggantikan energi fosil di Benua Biru.

Sebaliknya, sebuah ironi besar tercipta. Negara-negara Eropa justru seperti berlomba memakai lagi batu bara di tengah minimnya gas. Jerman mengaktifkan kembali Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), sementara Inggris mengeluarkan lagi izin tambang batu bara yang telah disetop 30 tahun terakhir.

(ags/ags)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular