Hiii, Ngeri! Amerika (Katanya) Mau Resesi...

Aulia Mutiara, CNBC Indonesia
24 May 2022 07:55
Rangkaian bendera Amerika Serikat dipasang di Washington D.C., menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joe Biden dan Kamala Harris. (AP/Carolyn Kaster)
Foto: Rangkaian bendera Amerika Serikat dipasang di Washington D.C., menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joe Biden dan Kamala Harris. (AP/Carolyn Kaster)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi Amerika Serikat (AS) memperlihatkan kondisi yang kian memburuk. Sejumlah kalangan mengingatkan bahwa risiko resesi di Negeri Adidaya makin nyata.

Salah satu faktor penyebab resesi adalah ekonomi yang tertekan akibat suku bunga tinggi. Bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) kemungkinan bakal menaikkan suku bunga acuan hingga tujuh kali tahun ini, untuk meredam inflasi yang melonjak gila-gilaan.

Data tersebut menunjukkan bahwa The Fed masih memiliki pekerjaan besar untuk menekan inflasi menuju target 2%. Oleh karena itu, kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut hampir pasti terjadi.

Bulan lalu, The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps ke 0,75-1%. Pasar memperkirakan Federal Funds Rate akan naik tujuh kali sepanjang 2022.

Ketika suku bunga tinggi, konsumen mendapatkan pengembalian yang lebih tinggi atas uang yang mereka simpan di rekening bank. Hal ini, nyatanya, membuat minat untuk meminjam uang di bank justru menjadi menurun.

Kekhawatiran bahwa langkah agresif The Fed untuk menaikkan suku bunga dapat mendorong ekonomi ke dalam resesi. Langkah bank sentral itu juga menyebabkan pasar merosot selama berturut-turut.

Meningkatnya kekhawatiran terkait kondisi ekonom AS, Goldman Sachs memperkirakan ada kemungkinan 15% dalam satu tahun ke depan dan 35% ekonomi AS memasuki resesi dalam dua tahun ke depan. Penelitian terbaru yang dikutip Reuters, Morgan Stanley menunjukkan kemungkinan 25% resesi akan terjadi dimulai dalam 12 bulan ke depan.

Sedangkan Bank of America Corp baru-baru ini mengungkapkan bahwa pihaknya melihat risiko resesi masih rendah tetapi akan meningkat pada 2023. Sedangkan menurut riset Wells Fargo kondisi ekonomi AS yang memburuk akan memangkas target pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) akhir 2022 menjadi 1,5% dari 2,2% dan memangkas target akhir tahun 2023 menjadi penurunan 0,5% dari ekspektasi sebelumnya untuk pertumbuhan PDB sebesar 0,4%.

Resesi AS diperkirakan akan memudarkan kepercayaan investor terhadap pasar saham Indonesia. Perubahan pelaku investor semakin mengincar safe haven seperti emas dan dan obligasi pemerintah Negeri Paman Sam.

Artinya, capital outflow dari pasar modal kemungkinan besar akan terjadi. Hal ini bisa dilihat dari penjualan bersih saham di Indonesia jika aksi jual asing terus berlanjut.

Saat pandemi Covid-19 perekonomian Indonesia mengalami terkontraksi yang menyebabkan konsumsi dan investasi Indonesia menurun. Resesi AS yang diperkirakan akan terjadi dalam waktu dekat akan berdampak pula terhadap negara kita.

Bukan tanpa alasan, AS merupakan mitra dagang utama dimana pada akhirnya membuat daya beli konsumen menurun sehingga menyebabkan permintaan ekspor seperti tekstil, pakaian jadi, olahan kayu, dan alas kaki merosot pada kuartal II-2022.

tradeSumber: Kemendag

Resesi di Negeri Stars and Stripes juga bisa mempengaruhi nilai tukar rupiah. Saat terjadi capital outflow, maka risiko depresiasi rupiah pasti meningkat.

Melansir data Refinitiv, rupiah sebenarnya membuka perdagangan dengan menguat 0,14% ke Rp 14.630/US$ pada perdagangan kemarin. Sayangnya, penguatan tersebut hanya berlangsung sesaat, rupiah kemudian berbalik melemah hingga mengakhiri perdagangan di Rp 14.670/US$, melemah 0,14%.

Sepanjang perdagangan bulan ini, rupiah baru mencatat penguatan sekali saja. Jika melihat ke belakang, rupiah tidak pernah menguat semenjak pemerintah melarang ekspor minyak goreng, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya pada 28 April lalu.

TIM RISET CNBC INDONESIA

 

 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular