
Setelah Rekor, Awas Neraca Dagang Bakal Ciut!
Jakarta, CNBC Indonesia - Surplus neraca perdagangan Indonesia diperkirakan menurun pada Mei 2022 setelah mencetak rekor tertinggi bulan sebelumnya. Larangan ekspor produk minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya serta kenaikan impor menjadi penyebabnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor pada April 2022 mencapai US$ 27,32 miliar atau naik 3,11% dibanding Maret 2022 dan melonjak sebesar 47,76% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Nilai ekspor tersebut adalah yang tertinggi dalam sejarah Indonesia.
Kenaikan tajam ekspor masih ditunjang oleh sektor pertambangan seiring melesatnya harga komoditas akibat perang Rusia-Ukraina. Ekspor sektor pertambangan tercatat US$ 6,41 miliar. Angka itu naik 18,6% (month to month/mtm) dan melonjak 182,5% (year on year/YoY).
Sementara itu, ekspor industri pengolahan turun 0,9% (mtm) menjadi US$ 19,09 miliar dan ekspor kelompok pertanian, kehutanan dan perikanan turun 8,4% (mtm) menjadi US$ 0,39 miliar.
Sementara itu, nilai impor Indonesia di bulan April mencapai US$ 19,76 miliar, turun 10,01% dibandingkan Maret 2022 tetapi masih naik 21,97% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Impor semua kelompok barang mengalami penurunan dibandingkan bulan Maret.
Impor barang modal turun 19,3 % (mtm) menjadi US$ 2,5 miliar sementara impor bahan baku/penolong turun 8,7% (mtm) menjadi US$ 15,5 miliar . Impor konsumsi turun 6,4% menjadi US$ 1,7 miliar.
Dengan catatan ekspor mencapai US$ 27,32 miliar dan impor US$ 19,76 miliar maka neraca perdagangan mencatatkan surplus senilai US$ 7,56 miliar. Nilai tersebut adalah yang tertinggi sepanjang Indonesia merdeka. Catatan surplus tersebut juga jauh di atas konsensus pasar yakni US$ 3,22 miliar.
Namun, sejumlah torehan positif di April tahun ini diperkirakan tidak akan berlangsung lama. Surplus neraca perdagangan diperkirakan akan menurun pada bulan ini.
"Kemungkinan trade surplus akan turun mengingat pemberlakuan larangan ekspor CPO sejak akhir April. Impor akan naik seiring dengan aktivitas produksi dan investasi yang naik kembali secara musiman setelah Ramadan dan Lebaran," tutur ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman kepada CNBC Indonesia.
Sebagai catatan, mulai 28 April 2022 , pemerintah resmi melarang ekspor produk minyak sawit mentah, minyak sawit merah atau red palm oil (RPO), palm oil mill effluent (POME), refined, bleached, deodorized (RBD) palm olein, serta used cooking oil.
Berdasarkan catatan BPS, ekspor lemak dan minyak nabati di mana 90% adalah CPO dan produk turunannya tercatat US$ 2,99 miliar. Nilai tersebut 2,6% dibandingkan Maret 2022. Volume ekspor CPO juga turun 10,5% (mtm) menjadi 1,93 juta ton pada April.
"Ekspor pada April 2022 untuk CPO baik nilai dan volume menurun. Tapi apakah berkaitan dengan kebijakan larangan ekspor, tapi yang jelas pada April, ekspor CPO menurun," tutur Kepala BPS Margo Yuwono, dalam konferensi pers, hari ini, Selasa (17/5/2022).
BPS menunjukkan ekspor CPO berkontribusi sekitar 14-15% terhadap total ekspor non-migas Indonesia. Dengan kontribusi sebesar tersebut, larangan ekspor tentu saja akan berdampak besar.
"Seberapa lama ekspor larangan ekspor akan sangat menentukan neraca perdagangan tahun ini,"ujar Faisal.
Ekonom UOB Enrico Tanuwidjaja memperkirakan larangan ekspor akan mengurangi surplus neraca perdagangan hingga US$ 1,3-2,1 miliar jika mengasumsikan kebijakan tersebut berlaku 4-6 minggu.
Indonesia adalah produsen dan eksportir terbesar CPO di dunia. Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), ekspor CPO, olahan CPO, crude palm kernel oil dan olahannya, biodiesel serta oleokimia mencapai 33,67 juta ton atau 72% dari total produksi CPO yang mencapai 46,89 juta. Pada tahun 2020, ekspor kelompok tersebut mencapai 34 juta ton atau 72,3% dari total produksi yang mencapai 47,034 juta ton.
China, India, Pakistan, Amerika Serikat, Bangladesh, dan Mesir merupakan pasar-pasar utama CPO Indonesia. Nilai ekspor CPO dan produk turunannya ke 10 negara utama pada tahun 2021 mencapai US$ 26,67 miliar. Nilai tersebut setara dengan 11,5% dari total nilai ekspor pada tahun lalu.
Selain larangan ekspor, ekspor Indonesia diperkirakan akan melambat karena lockdown di China. Negeri Tirai Bambu merupakan mitra terbesar dagang Indonesia.
Beijing sudah menerapkan kebijakan lockdown di 45 kota sejak akhir Maret 2022 yang berdampak kepada aktivitas perekonomian mereka. Pada April 2022, ekspor ke China tercatat US$ 5,5 miliar naik tipis 0,21% dibandingkan Maret. Pada Januari-April 2022, ekspor ke China menembus US$ 18,21 miliar naik 33,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
"Kemungkinan akan ada penurunan permintaan ekspor dari China karena lockdown," tutur David, kepada CNBC Indonesia.
Surplus neraca perdagangan Indonesia juga diperkirakan mengecil karena impor akan meningkat sejalan dengan pemulihan ekonomi dan aktivitas investasi di Indonesia. Faisal mengingatkan impor barang modal dan bahan baku/perantara berkontribusi terhadap 90% total impor.
"Impor kedua barang tersebut akan melonjak jika pemulihan ekonomi membaik dan investasi meningkat," tutur Faisal.
Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardana juga memperkirakan impor akan meningkat tajam di tengah pelonggaran mobilitas sehingga surplus akan menciut.
Sejumlah ekonom juga mengatakan lonjakan surplus di bulan April diyakini bakal berdampak positif terhadap pergerakan rupiah dan performa transaksi berjalan. Kondisi positif tersebut diharapkan bisa memberi ruang lebih bagi Bank Indonesia (BI) dalam kebijakan moneter.
Bank Mandiri memperkirakan transaksi berjalan akan mencatatkan surplus 0,03% dari PDB pada tahun ini. Tahun lalu, transaksi berjalan tercatat defisit 0,28% dari PDB.
Sementara itu, ekonom Bank Danamon Wisnu Wardana memperkirakan transaksi berjalan akan tetap mencatatkan defisit pada tahun ini yakni 0,5% terhadap PDB.
Defisit yang rendah tersebut akan membuat keseimbangan eksternal Indonesia terjaga di tengah ketidakpastian perekonomian global.
"Surplus dan capital inflow akan membantu pergerakan rupiah, rupiah diperkirakan akan berada di kisaran Rp 14.650-14.750/US$ pada tahun ini," tutur Wisnu, kepada CNBC Indonesia.
Keseimbangan eksternal juga akan membantu Bank Indonesia dalam meredam kebijakan The Fed yang agresif. "ini akan memberikan ruang bagi BI dalam penyesuaian suku bunga. Kami memperkirakan BI baru akan menaikkan suku bunga pada kuartal tiga tahun ini," ujar Wisnu.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Juni, Ekspor RI Bakal Ngegas Lagi!