Inflasi 'Terbang', Sudah Saatnya BI Naikkan Bunga?

Maesaroh, CNBC Indonesia
10 May 2022 15:41
Bank Indonesia
Foto: REUTERS/Iqro Rinaldi

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi Indonesia 'terbang' pada April di tengah pemulihan ekonomi domestik. Pasar pun kini menunggu langkah Bank Indonesia dalam menyikapi lonjakan inflasi, apakah akan tetap mempertahankan suku bunga demi mengakselerasi pertumbuhan ekonomi atau menaikkan suku bunga untuk meredam laju inflasi?

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi Indonesia meroket 0,95% (month to month/mtm) pada April 2022, yang menjadi level tertinggi sejak Januari 2017. Secara tahunan (year on year/YoY), inflasi Indonesia melesat ke level 3,47% atau tertinggi sejak Agustus 2019.

BPS juga mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,01% (YoY) pada kuartal I-2022. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan kuartal IV-2021 (5,02%) tetapi jauh lebih baik dibandingkan kontraksi 0,70% pada kuartal I-2021.

Sementara itu, BPS juga mengumumkan tingkat pengangguran di Indonesia mencapai 5,3% pada Februari 2022 dengan jumlah mencapai 8,4 juta orang. Angka tersebut turun dibandingkan Februari 2021 yakni 6,26% dengan jumlah pengangguran mencapai 8,75 juta.

Merujuk data BPS, inflasi April yang mencapai 3,47% semakin mendekati batas atas range target Bank Indonesia yakni 2-4%. Ekonom OCBC Wellian Wiranto memperkirakan Bank Indonesia (BI) akan bertindak pre-emptive dengan menaikkan suku bunga pada Mei mendatang untuk memerangi inflasi.

"Inflasi April ada di atas konsensus pasar. Ruang BI untuk mempertahankan target inflasi 2-4% kini tidak ada," tutur Wellian dalam laporan berjudul Time for a Hike.

Wellian menambahkan lonjakan inflasi April tidak hanya disebabkan kenaikan kelompok bergejolak seperti makanan tetapi juga energi dan inflasi inti. BPS mencatat inflasi inti pada April menembus 2,60% (YoY) yang merupakan rekor tertinggi sejak Mei 2020 atau dua tahun lalu di mana pada saat itu inflasi inti mencapai 2,65%.

Sebagai catatan, beberapa kali Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan bahwa BI hanya mempertimbangkan pergerakan inflasi yang bersifat fundamental yang tercermin dalam inflasi inti dalam menentukan suku bunga acuan. BI tidak akan memperdulikan pergerakan inflasi harga bergejolak atau inflasi kelompok harga yang diatur pemerintah.

"BI mengatakan akan mempertimbangkan inflasi inti sementara pada saat yang sama akan pre-emptive serta hati-hati. Kami pikir jalan terbaik dalam menyelesaikan hal tersebut adalah dengan mempercepat suku bunga daripada menundanya," imbuh Wellian.




Wellian menambahkan langkah pre-emptive BI juga dilakukan demi menjaga daya tarik aset domestik di tengah kebijakan The Fed yang agresif. Dia mengingatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia juga sudah berada di jalur yang benar sehingga BI kemungkinan akan mulai mengambil langkah dalam meredam inflasi.

"Ekonomi domestik memang belum pulih sepenuhnya tapi dalam kondisi yang cukup baik. Namun, lonjakan inflasi harus segera ditangani untuk menjaga kepercayaan konsumen," ujarnya.

Wellian memperkirakan BI akan mulai menaikkan suku bunga pada Mei tahun ini. Secara keseluruhan, dia memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 bps sepanjang tahun ini sehingga suku bunga acuan BI akan berada di level 4,5% di akhir tahun. Sebagai catatan, BI sudah mempertahankan suku bunga acuan mereka di level 3,50% selama 14 bulan terakhir.

Ekonom DBS Radhika Rao mengatakan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pada kuartal I tahun ini menambah ruang BI untuk menaikkan suku bunga. "Kami memperkirakan kebijakan BI akan menjadi hawkish jika inflasi inti terus merangkak naik. Inflasi dikhawatirkan akan memberi tekanan kepada rupiah. Namun, kami memperkirakan BI masih akan menahan suku bunga pada bulan ini," tutur Radhika Rao dalam laporan berjudul Indonesia: Resilient Growth Provides Room to Prioritise Inflation.

Radhika menambahkan BI kemungkinan akan menempuh kebijakan lain terlebih dahulu untuk memerangi inflasi sebelum menaikkan suku bunga acuan pada kuartal III tahun 2022. Kebijakan tersebut di antara dengan terus mengurangi Giro Wajib Minimum (GWM).

"BI kemungkinan akan menaikkan suku bunga acuan hingga 75 bps pada tahun 2022. Kenaikan salah satunya untuk mengimbangi ekspektasi kenaikan suku bunga acuan The Fed sebesar 175 bps pada tahun ini," ujarnya.

Ekonom Bahana Sekuritas Satria Putra Sambijantoro mengatakan BI kemungkinan besar masih akan fokus pada upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi dibandingkan meredam inflasi. Terlebih, pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan investasi belum kembali ke level sebelum pra pandemi.

Dalam catatan BPS, secara historisnya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga ada di level 5% sementara investasi ada di level 5-6%. Pada kuartal I tahun ini, konsumsi hanya tumbuh 4,34% (YoY) sementara investasi tumbuh 4,09%.

Seperti diketahui, pembiayaan investasi di Indonesia sangat bergantung kepada pihak perbankan. Kenaikan suku bunga acuan diyakini akan mengerek suku bunga pinjaman perbankan sehingga ongkos berinvestasi bisa terdongrak.

Satria menambahkan lonjakan inflasi April disebabkan oleh adanya demand pull inflation maupun cost push inflation. Permintaan melonjak seiring datangnya bulan Ramadhan sementara harga naik sejalan dengan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kenaikan harga BBM, serta komoditas pangan dan energi di pasar global.

Inflasi masih berpotensi naik jika pemerintah menaikkan harga BBM jenis Pertalite serta tarif dasar listrik. Bahana memperkirakan inflasi tahun ini akan berada di kisaran 3,5-4,2% jika pemerintah menaikkan Pertalita ataupun tarif dasar listrik. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan pada lima tahun terakhir. Terakhir kali inflasi Indonesia menyentuh di atas 3,5% adalah pada 2017 (3,61%).

"Suku bunga hanya berdampak terhadap permintaan (inflasi inti) tetapi persoalan yang dihadapi sekarang adalah tekanan inflasi yang ditimbulkan oleh pasokan dan kenaikan harga BBM," ujar Satria dalam laporan bertajuk Will BI Curb Demand to Counter Inflation?

Satria mengatakan masih ada ruang bagi BI untuk tetap mempertahankan suku bunga tahun ini, terutama karena pemulihan ekonomi belum berlangsung secara penuh.

"Menurunkan inflasi dengan cara merusak permintaan sepertinya tidak akan menjadi pilihan kebijakan yang dipilih BI," imbuhnya.


TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular