
Indonesia Bangkit! Tapi Anti Resesi Nggak?

Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan masih akan tumbuh tinggi pada kuartal II tahun ini. Faktor musiman Lebaran serta pelonggaran mobilitas menjadi pendorong utama.
Sebagai catatan, Puasa dan Lebaran tahun ini jatuh pada April dan Mei atau kuartal yang sama. Secara tradisi, permintaan barang dan jasa domestik akan mencapai puncak selama periode Lebaran.
Kepala ekonom BCA David Sumual memperkirakan ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh di atas 5% pada periode April-Juni. "Kalau kita lihat sampai Mei masih oke. Aktivitas ekonomi makin bagus. Kegiatan lebaran seperti mudik akan memberikan insentif besar dan pengaruhnya lebih baik karena tahun lalu tidak ada aktivitas mudik," tutur David, kepada CNBC Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, sekitar 85,5 juta orang melakukan perjalanan mudik pada Lebaran tahun ini. Kondisi ini berbanding terbalik dengan dua tahun lalu di mana pemerintah melarang tradisi mudik.
Besarnya dampak mudik ke perekonomian setidaknya sudah tercermin dari perputaran uang selama Lebaran. Bank Indonesia mencatat, sepanjang momentum Ramadan dan libur Idulfitri 2022 ini, realisasi penarikan uang tunai meningkat 16,6% dibandingkan realisasi 2021 dari sebesar Rp 154,5 triliun menjadi Rp 180,2 triliun. Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan sebelum kondisi pandemi (Mei 2019) yang sebesar 9,21% (yoy).
"Harga komoditas juga lebih bagus dibandingkan tahun lalu tapi yang perlu diwaspadai adalah seberapa lama pemerintah melarang ekspor crude palm oil karena komoditas tersebut berpengaruh besar kepada ekspor," imbuh David.
Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memperkirakan perekonomian Indonesia akan tumbuh di kisaran 5-5,2% pada kuartal II tahun ini. Bila pertumbuhan ekonomi pada kuartal II diperkirakan masih cemerlang, tidak demikian dengan kuartal III-2022. Pada kuartal III, sejumlah risiko sudah menghadang mulai dari dampak inflasi yang tinggi, menurunnya daya beli, hingga kebijakan moneter yang ketat.
Dalam catatan BPS, inflasi Indonesia di bulan April sudah meroket ke kisaran 0,95% (month to month/MTM). Level tersebut adalah yang tertinggi sejak Januari 2017 atau dalam lima tahun terakhir.
David mengingatkan inflasi yang tinggi ini bisa berpengaruh besar kepada daya beli masyarakat pada semester depan. Senada, Faisal juga mengatakan lonjakan harga komoditas akan menjadi dilema bagi Indonesia. Di satu sisi, kenaikan harga komoditas akan mendukung ekspor tetapi di sisi lain akan meningkatkan inflasi dan mengganggu pemulihan ekonomi.
"Ada risiko dari kenaikan harga. Jika inflasi meningkat dan sulit dikendalikan ada risiko penurunan daya beli yang membuat konsumsi melemah. Lonjakan inflasi juga bisa membuat Bank Indonesia menaikkan suku bunga lebih cepat dari perkiraan sehingga investasi bisa terganggu," tutur Faisal, kepada CNBC Indonesia.
Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardhana juga mengingatkan akan adanya risiko besar yang bisa mengancam perekonomian Indonesia. Di antaranya adalah melemahnya perekonomian global, lonjakan inflasi, dan kemungkinan kebijakan moneter yang lebih ketat.
"Dampak dari risiko ini akan terasa hingga jangka menengah tahun ini," tutur Wisnu.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan BI akan mempertimbangkan perkembangan inflasi inti serta menunggu kebijakan pemerintah dalam meredam lonjakan inflasi belum menaikkan suku bunga acuan. Inflasi inti pada April 2022 tercatat 2,6% (YoY), lebih tinggi dibandingkan pada Maret lalu yakni 2,37%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]