Indonesia Bangkit! Tapi Anti Resesi Nggak?

Maesaroh, CNBC Indonesia
09 May 2022 16:20
Pasar Tanah Abang
Foto: Pengunjungi memadati pusat perbelanjaan pakain jadi di pasar Tanah Abang Blok B, Jakarta, Kamis (10/3/2022). (CNBC Indonesia/ Tri Susio)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi Indonesia tumbuh 5,01% (year on year/YoY) pada kuartal I-2022. Pertumbuhan tersebut menandai kembalinya perekonomian Indonesia ke level 5% seperti sebelum pandemi Covid-19 sekaligus menjauhkan Indonesia ke dalam jurang resesi.

Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini juga mengumumkan perekonomian Indonesia terkontraksi 0,96% dibandingkan kuartal IV tahun 2021 (quarter-to-quarter/QtQ). Ini memang hal yang wajar, karena aktivitas ekonomi biasanya memuncak pada kuartal IV dan baru dimulai pada kuartal I.

Sebagai catatan, pada kuartal IV-2021, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga berada di level 5,02% (YoY). Artinya, dalam dua kuartal berturut-turut, Indonesia sudah mencatatkan pertumbuhan di atas 5%.

Pada kuartal I-2021, ekonomi Indonesia masih terkontraksi 0,7% YoY. Kuartal tersebut mengakhiri kontraksi pada perekonomian Indonesia yang sudah berlangsung sejak kuartal II-2020. Kontraksi panjang selama empat kuartal tersebut juga membawa Indonesia ke periode resesi untuk pertama kalinya sejak Krisis Finansial 1998.

Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,01% menunjukkan pemulihan yang terus berlanjut. Pada kuartal I tahun ini, mesin-mesin pertumbuhan ekonomi seperti konsumsi rumah tangga juga sudah bekerja sesuai perannya seperti sebelum pandemi.

"Mesin-mesin pertumbuhan di triwulan I 2022 ini sudah menunjukkan perannya dalam PDB nasional. Mobilitas sudah sangat bagus, menunjukkan peningkatan yang signifikan. Ini berpengaruh positif terhadap kegiatan produksi, konsumsi, dan investasi." tutur Margo, dalam konferensi pers, Senin (9/5/2022).

Konsumsi rumah tangga pada kuartal I tumbuh 4,34% (YoY). Meskipun belum kembali ke kisaran 5% seperti pra-pandemi, pertumbuhan konsumsi rumah tangga jauh lebih tinggi dibandingkan pada kuartal IV-2021 (3,5%) ataupun kuartal I-2021 (-2,21%).

Secara tradisi, konsumsi rumah tangga Indonesia tumbuh di kisaran 5% tetapi badai pandemi mengubah pola tersebut. Pada periode 2020-2022, konsumsi rumah tangga hanya sekali tumbuh di kisaran 5% yakni pada kuartal II-2021 (5,96%). Namun, tingginya pertumbuhan konsumsi tersebut lebih disebabkan karena low base effect pada periode yang sama tahun sebelumnya.



Dengan jumlah penduduk mencapai 275 juta lebih, pergerakan konsumsi rumah tangga akan sangat menentukan perekonomian Indonesia. Pada kuartal I-2022, kontribusi konsumsi rumah tangga berada di kisaran 53% dalam pembentukan PDB. 

Membaiknya konsumsi rumah tangga tidak bisa dilepaskan dari pelonggaran mobilitas masyarakat. Mobility Index yang dicatat Google menunjukkan pergerakan masyarakat ke tempat belanja dan kerja makin meningkat dari awal tahun.

Pada kuartal I-2022, Indonesia memang dihadapkan pada gelombang III Covid-19 akibat varian Omicron. Pada 16 Februari 2022, tambahan kasus Covid-19 di Indonesia bahkan mencatatkan rekor tertingginya yakni 64.718.

Lonjakan kasus gelombang III membuat pemerintah mengetatkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan masyarakat (PPKM) pada awal Februari. Provinsi DKI Jakarta misalnya dinaikkan dari Level 2 ke Level 3 pada awal Februari hingga awal Maret 2022.

Google Mobility IndexFoto: BPS
Google Mobility Index

Namun, ekonomi Indonesia kembali pulih cepat karena dampak Omicron tidak sebesar dua gelombang sebelumnya termasuk gelombang I. Gelombang I terjadi pada kuartal I-2021 yang berlangsung sejak Januari hingga Februari 2021.

Lonjakan kasus pada periode tersebut juga membuat pemerintah harus mengetatkan mobilitas yang berpengaruh terhadap permintaan masyarakat. Sementara itu, investasi pada kuartal I-2022 tumbuh 4,09%. Lebih rendah dibandingkan kuartal IV-2021 (4,09%) ataupun kuartal I tahun 2021 (7,52%). Pertumbuhan investasi pada kuartal I-2022 juga masih di bawah rata-ratanya yakni 5-6%.

Ekspor tumbuh 16,22% pada kuartal I tahun ini. Level tersebut lebih rendah dibandingkan kuartal IV-2021 (29,83%) tetapi lebih tinggi dibandingkan kuartal I-2021 (6,94%).

Seperti dugaan, konsumsi pemerintah terkontraksi 7,74%. Kondisi ini berbanding terbalik dengan kuartal I-2021 yakni tumbuh 2,55%.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan masih akan tumbuh tinggi pada kuartal II tahun ini. Faktor musiman Lebaran serta pelonggaran mobilitas menjadi pendorong utama.

Sebagai catatan, Puasa dan Lebaran tahun ini jatuh pada April dan Mei atau kuartal yang sama. Secara tradisi, permintaan barang dan jasa domestik akan mencapai puncak selama periode Lebaran.

Kepala ekonom BCA David Sumual memperkirakan ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh di atas 5% pada periode April-Juni. "Kalau kita lihat sampai Mei masih oke. Aktivitas ekonomi makin bagus. Kegiatan lebaran seperti mudik akan memberikan insentif besar dan pengaruhnya lebih baik karena tahun lalu tidak ada aktivitas mudik," tutur David, kepada CNBC Indonesia.


Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, sekitar 85,5 juta orang melakukan perjalanan mudik pada Lebaran tahun ini. Kondisi ini berbanding terbalik dengan dua tahun lalu di mana pemerintah melarang tradisi mudik.

Besarnya dampak mudik ke perekonomian setidaknya sudah tercermin dari perputaran uang selama Lebaran. Bank Indonesia mencatat, sepanjang momentum Ramadan dan libur Idulfitri 2022 ini, realisasi penarikan uang tunai meningkat 16,6% dibandingkan realisasi 2021 dari sebesar Rp 154,5 triliun menjadi Rp 180,2 triliun. Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan sebelum kondisi pandemi (Mei 2019) yang sebesar 9,21% (yoy).

"Harga komoditas juga lebih bagus dibandingkan tahun lalu tapi yang perlu diwaspadai adalah seberapa lama pemerintah melarang ekspor crude palm oil karena komoditas tersebut berpengaruh besar kepada ekspor," imbuh David.


Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memperkirakan perekonomian Indonesia akan tumbuh di kisaran 5-5,2% pada kuartal II tahun ini. Bila pertumbuhan ekonomi pada kuartal II diperkirakan masih cemerlang, tidak demikian dengan kuartal III-2022. Pada kuartal III, sejumlah risiko sudah menghadang mulai dari dampak inflasi yang tinggi, menurunnya daya beli, hingga kebijakan moneter yang ketat.

Dalam catatan BPS, inflasi Indonesia di bulan April sudah meroket ke kisaran 0,95% (month to month/MTM). Level tersebut adalah yang tertinggi sejak Januari 2017 atau dalam lima tahun terakhir.

David mengingatkan inflasi yang tinggi ini bisa berpengaruh besar kepada daya beli masyarakat pada semester depan. Senada, Faisal juga mengatakan lonjakan harga komoditas akan menjadi dilema bagi Indonesia. Di satu sisi, kenaikan harga komoditas akan mendukung ekspor tetapi di sisi lain akan meningkatkan inflasi dan mengganggu pemulihan ekonomi.

"Ada risiko dari kenaikan harga. Jika inflasi meningkat dan sulit dikendalikan ada risiko penurunan daya beli yang membuat konsumsi melemah. Lonjakan inflasi juga bisa membuat Bank Indonesia menaikkan suku bunga lebih cepat dari perkiraan sehingga investasi bisa terganggu," tutur Faisal, kepada CNBC Indonesia.

Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardhana juga mengingatkan akan adanya risiko besar yang bisa mengancam perekonomian Indonesia. Di antaranya adalah melemahnya perekonomian global, lonjakan inflasi, dan kemungkinan kebijakan moneter yang lebih ketat.

"Dampak dari risiko ini akan terasa hingga jangka menengah tahun ini," tutur Wisnu.

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan BI akan mempertimbangkan perkembangan inflasi inti serta menunggu kebijakan pemerintah dalam meredam lonjakan inflasi belum menaikkan suku bunga acuan. Inflasi inti pada April 2022 tercatat 2,6% (YoY), lebih tinggi dibandingkan pada Maret lalu yakni 2,37%.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular