Sssttt, Ada yang Kasih Warning ke RI Soal Utang

Maesaroh, CNBC Indonesia
28 April 2022 13:24
Salah satu bangunan yang berdiri di tengah proyek tol becakayu, Jakarta, Senin, (25/4/2022). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Salah satu bangunan yang berdiri di tengah proyek tol becakayu, Jakarta, Senin, (25/4/2022). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Lembaga pemeringkat internasional Standard & Poor's (S&P) mempertahankan peringkat atau rating Indonesia di tingkat BBB. Namun S&P menaikkan outlook atau prospek peringkat utang Indonesia dari negatif menjadi stabil.

Afirmasi rating Indonesia disertai dengan revisi outlook mencerminkan keyakinan S&P atas terjaganya stabilitas makroekonomi dan prospek ekonomi jangka menengah Indonesia.  Outlook stabil mencerminkan kepercayaan S&P bahwa pemulihan ekonomi Indonesia akan berlanjut hingga dua tahun ke depan, terutama didukung konsolidasi fiscal yang membaik.

S&P memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,1% pada tahun ini dan 4,8% pada 2023. Ekonomi Indonesia hanya tumbuh 3,69% pada 2021 dan terkontraksi 2,07% pada 2020 akibat hantaman pandemi Covid-19.



Nominal PDB Indonesia diperkirakan mencapai US$ 4.700 pada tahun ini, angka ini lebih rendah dibandingkan mayoritas negara dengan peringkat investment grade (layak investasi). Namun, PDB per kapita Indonesia diperkirakan akan tumbuh kuat sebesar 3,2%. S&P memperkirakan rata-rata pertumbuhan PDB per kapita Indonesia akan di atas peers-nya

Sebagai catatan, S&P menurunkan outlook rating Indonesia dari stabil ke negatif pada April 2020. Outlook tersebut dipertahankan pada tahun 2021 dan baru pada April tahun ini meningkat menjadi stabil.

Outlook positif menandai Indonesia memiliki peluang peningkatan peringkat di masa mendatang sementara outlook negatif menunjukkan adanya kemungkinan penurunan rating. Outlook stabil sendiri mencerminkan bahwa peringkat investment grade BBB yang disematkan ke Indonesia berpeluang tetap.

S&P menilai Indonesia akan diuntungkan oleh harga komoditas yang melonjak dampak dari perang Rusia-Ukraina. Kenaikan harga komoditas seperti tembaga dan batu bara membuat penerimaan negara meningkat. Namun, perang Rusia-Ukraina juga bisa menekan permintaan konsumsi rumah tangga.

"S&P melihat risiko dari perang masih manageable sehingga bisa mencegah pelemahan lebih lanjut di tengah menurunnya perekonomian global," tutur S&P dalam laporannya.

S&P menilai penerimaan negara yang lebih besar akan membantu konsolidasi fiskal dan menurunkan defisit anggaran dalam dua hingga tahun ke depan. Defisit anggaran diperkirakan mencapai 4% dari PDB pada tahun ini, di bawah yang ditetapkan dalam APBN 2022 yakni 4,85% dari PDB,

Undang-Undang Cipta Kerja juga diharapkan bisa mendorong penciptaan lapangan kerja serta menarik lebih banyak investor asing.

Cakupan vaksinasi yang luas akan menciptakan imunitas yang bisa mendukung perekonomian. Dampak varian Omicron kepada Indonesia juga dinilai ringan sehingga memungkinkan adanya pelonggaran pembatasan mobilitas. Kondisi politik di Indonesia juga dinilai stabil sehingga berdampak positif ke perekonomian.

Akan tetapi, S&P mengingatkan Indonesia akan ancaman naiknya beban bunga karena meningkatnya inflasi dan tingkat suku bunga global. Menurut mereka, utang pemerintah masih tetap lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi Covid-19 meskipun sudah menurun dibandingkan saat pandemi. S&P memperkirakan utang neto pemerintah akan naik rata rata 3,1% per tahun pada 2022-2025.

"Utang pemerintah Indonesia sudah mulai stabil setelah mencatatkan peningkatan signifikan di tahun 2020. Namun, beban bunga masih harus ditanggung dalam waktu lama dan bisa meningkat dalam satu atau dua tahun ke depan," tutur S&P.

S&P memperkirakan rasio bunga dan penerimaan bisa turun ke level 15% dalam tiga atau empat tahun ke depan. Sebagai catatan, per akhir Maret 2022 utang pemerintah menembus Rp 7.052,5 triliun dengan rasio terhadap PDB sebesar 40,39%. Jumlah tersebut naik dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat Rp 7.014,58 triliun.



S&P menyoroti peran Bank Indonesia dalam membantu pemerintah membiayai defisit anggaran melalui skema burden sharing.  Sejauh ini, S&P tidak melihat kenaikan ekspektasi dari peran BI dalam burden sharing atau tekanan ke yield surat utang pemerintah.

"Ini membuktikan pasar mencerna perkembangan tanpa kekhawatiran," tutur S&P.

Menanggapi S&P, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, mengatakan afirmasi rating Indonesia disertai dengan revisi outlook menjadi stabil tersebut menunjukkan bahwa di tengah peningkatan risiko global yang berasal dari tensi geopolitik Rusia-Ukraina, perlambatan ekonomi global, dan peningkatan tekanan inflasi, pemangku kepentingan internasional tetap memiliki keyakinan yang kuat atas terjaganya stabilitas makroekonomi dan prospek ekonomi jangka menengah Indonesia.

" Ke depan, BI akan terus mencermati perkembangan ekonomi dan keuangan global dan domestik, merumuskan dan melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," tutur Perry, dalam keterangan resmi.

Dalam laporannya, S&P juga memberikan dua scenario atas rating Indonesia yakni downside dan upside scenario. Downside scenario terjadi jika pemulihan ekonomi Indonesia terutama GDP per kapita lebih lambat dari negara peers-nya. Skenario tersebut memmperhitungkan sejumlah faktor, salah satunya pembayaran bunga utang pemerintah melewati 15% dari penerimaan serta menurunya penerimaan transaksi berjalan yang bisa berdampak buruk terhadap keseimbangan eksternal.

Sementara itu, upside scenario mempertimbangkan beban utang utang luar negeri yang terus menurun di bawah 50% dari penerimaan transaksi berjalan. Rating Indonesia juga berpeluang naik jika pembayaran bunga utang di bawah 10% dari penerimaan negara.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular