Banyak Negara Dihantui Krisis Gegara Tercekik Utang, RI Aman?

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
22 April 2022 15:40
INFOGRAFIS, Utang RI di Pemerintahan Jokowi Naik Lagi, Ini Detailnya
Foto: Infografis/ Utang RI di Era Jokowi/ Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Ancaman inflasi yang tinggi membuat negara maju mulai melakukan normalisasi kebijakan moneternya. Negara-negara yang memiliki fiskal terbatas juga dihadapkan dengan tercekiknya utang di tengah era suku bunga yang tinggi.

Spring Meeting International Monetary Fund dan World Bank yang berlangsung di Washington D.C, Amerika Serikat pada 18-23 April 2022 juga menyoroti bahwa, pemulihan ekonomi mengalami perlambatan.

Sejumlah faktor risiko yang mempengaruhi kinerja perekonomian global bersumber dari potensi memburuknya konflik di Ukraina, eskalasi sanksi atas Rusia, serta meningkatnya kembali kasus dan varian baru Covid-19, perlambatan pertumbuhan ekonomi China, dan peningkatan tekanan sosial akibat kenaikan harga pangan dan energi.

"Dunia saat ini harus berjuang melawan inflasi yang tinggi dan mengatasi utang. Respon kebijakan domestik diperlukan untuk memitigasinya," First Deputy Managing Director IMF, Gita Gopinath dalam High Level Discussion, bertajuk 'Strengthening Economic Recovery Amidst Heightened Uncertainty', Jumat (22/4/2022).



Kekhawatiran akan utang diukur melalui rasio terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Berdasarkan data trading economics, ada beberapa negara berkembang dengan rasio utang terhadap PDB yang sangat tinggi.

Antara lain Venezuela dengan 350% terhadap PDB, Sudan 259% terhadap PDB, dan Yunani 206% terhadap PDB serta Lebanon dengan 172% terhadap PDB.

Selanjutnya adalah Cape Verde, Italia, Libia, Portugal dengan rasio utang sekitar 130-150% terhadap PDB. Braheain dan Mozambik juga termasuk negara dengan rasio di atas 100%.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menekankan bahwa negara-negara G20 akan terus mendukung negara berpenghasilan rendah dan rentan yang mengalami risiko kesulitan utang. Dukungan tersebut sudah dibahas dalam pertemuan terkait arsitektur keuangan Internasional.

"Mengintegrasikan kembali komitmen untuk mendukung negara-negara yang rentan khususnya mereka yang berisiko mengalami kesulitan utang," jelas Perry dalam kesempatan yang sama.

Cara yang akan ditempuh negara-negara G20 untuk menolong negara-negara miskin dan rentan dari utang, kata Perry adalah dengan membentuk sistem pendanaan yang disebut 'Resilience and Sustainability Trust' (RST). Di mana mendorong dunia untuk memberikan secara sukarela dana sebesar US$ 100 miliar.

Lebih lanjut, Perry menegaskan anggota G20 juga mendukung keuangan berkelanjutan karena penting untuk pemulihan ekonomi global yang hijau, tangguh, dan inklusif. Dia memastikan peta jalan keuangan berkelanjutan G20 akan diimplementasikan.

Hal tersebut termasuk mengembangkan kerangka kerja sukarela dan tidak mengikat untuk transisi keuangan, meningkatkan kredibilitas komitmen lembaga keuangan, dan mengembangkan alat kebijakan demi meningkatkan instrumen keuangan berkelanjutan dengan fokus pada peningkatan aksesibilitas dan keterjangkauan.

Kementerian Keuangan menekankan posisi utang pemerintah masih dalam batas aman. Kondisi ini jauh berbeda dengan Sri Lanka yang utangnya membengkak dan tidak mampu membayar kewajiban Utang Luar Negeri (ULN) nya.

Direktur Jenderal Pengelolaan, Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman menyebutkan, pemerintah tetap menjaga rasio utang tidak melebihi batas yang ditetapkan dalam UU Keuangan Negara yakni 60% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Dari catatan Kemenkeu, per 28 Februari 2022 posisi utang berada di level Rp 7.014,58 triliun dengan rasio sebesar 40,17% dari PDB.

"Pemerintah mengelola utang secara prudent dan terukur dengan senantiasa memantau perkembangan kondisi pasar keuangan yang cenderung volatile serta mencermati perkembangan kondisi APBN di sisi pendapatan dan belanja negara," ujarnya kepada CNBC Indonesia.

Kondisi ini dinilai tidak bisa disamakan dengan Sri Lanka. Sebab, Indonesia melakukan utang dengan kehati-hatian dan memperhitungkan kemampuan bayarnya.

Sedangkan Sri Lanka diketahui menghabiskan banyak uang untuk impor saat harga komoditas naik tinggi. Tanpa mempertimbangkan kondisi utang luar negeri.

"Kemampuan membayar utang pemerintah cukup tinggi, yang ditopang oleh stabilitas ekonomi dan politik yang mendorong kepercayaan investor terhadap prospek perekonomian ke depan," jelas Luky.

Selain itu, kinerja fiskal Indonesia juga diakui oleh berbagai lembaga internasional di tengah banyaknya ketidakpastian. Ini tercermin dari peringkat utang dan investasi Indonesia yang masih baik.

"Lembaga internasional dan lembaga rating tetap mempertahankan peringkat kredit Indonesia serta mengafirmasi bahwa kondisi Indonesia tergolong stabil di tengah kondisi yang volatile selama masa pandemi," pungkasnya.


(cap/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Negara "Miskin" Berisiko Gagal Bayar Utang

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular