
RI Tak Ekspor Minyak Goreng, Dunia Terancam 'Tsunami' Inflasi

Jakarta, CNBC Indonesia - Keputusan pemerintah Indonesia melarang minyak goreng dan bahan bakunya dikhawatirkan akan melambungkan inflasi global. Pasalnya, banyak negara yang mengkonsumsi bahan baku minyak goreng.
Minyak sawit mentah atau CPO merupakan minyak nabati yang paling banyak dipakai di seluruh dunia. Tidak hanya dipakai sebagai bahan baku minyak goreng, CPO juga dipakai sebagai bahan campuran biskuit, mentega, dan sabun. Ekspor CPO dan produk turunan Indonesia pada tahun lalu mencapai 33,67 juta ton termasuk olahan CPO sebesar 25,48 juta ton.
Kontribusi CPO Indonesia dalam ekspor minyak nabati global diperkirakan mencapai lebih dari 60%. Besarnya posisi Indonesia dalam perdagangan minyak nabati dunia inilah yang membuat keputusan Presiden Joko Widodo terkait larangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya akan berpengaruh besar terhadap inflasi global.
"Ini ada kabar buruk bagi konsumen minyak nabati di banyak negara. Mereka sudah banyak tergantung pada minyak sawit karena kurangnya pasokan minyak bijih matahari, minyak kedelai, dan rapeseed oil," tutur Siegfried Falk, analis dari Oil World, seperti dikutip dari VOI.
Sebelum Indonesia, ada Argentina yang juga membatasi ekspor minyak nabati mereka untuk menjaga pasokan domestik dan menekan inflasi. Argentina yang merupakan pemasok utama minyak kedelai memutuskan untuk memangkas setengah pasokan ekspor minyak kedelai di pertengahan Maret. Argentina kemudian menaikkan pajak ekspor untuk menjaga pasokan domestik.
Keputusan Argentina atau Indonesia membuat negara importir tidak punya pilihan lain selain membayar lebih mahal untuk mendapatkan pasokan minyak nabati.
Apa yang dilakukan Indonesia dan Argentina dipastikan akan mengerek harga minyak nabati lain seperti minyak kanola, minyak bijih matahari, minyak zaitun, hingga rapeseed oil.
Jiai Shanwei, dari cngrain.com mengatakan larangan ekspor yang dilakukan Indonesia akan berdampak dalam jangka pendek ke China. "Namun, impor colza oil yang masih berjalan normal dari Rusia dan minyak kacang tanah dari Amerika Serikat akan mengurangi tekanan harga," katanya.
![]() |
Berbeda dengan China, India akan banyak terimbas jika Indonesia melarang CPO. The Economic Times menyebut kebijakan larangan ekspor CPO yang dilakukan Indonesia bisa mendongkrak harga kue, mie, sabun, hingga shampoo di India hingga 8-10%.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), secara nilai dan volume, China merupakan importir terbesar CPO Indonesia disusul dengan India. Namun, pada Januari-Maret 2022, India menjadi importir terbesar untuk Indonesia.
Wakil Menteri Komoditas dan Industri Perkebunan Malaysia Wee Jeck Seng mengatakan sulit bagi Malaysia untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan Indonesia.
Perkebunan sawit Malaysia masih dihadapkan pada persoalan tenaga kerja sejak pandemi Covid-19 melanda. Sebagaimana diketahui, sebagian besar pekerja di perkebunan sawit Malaysia adalah imigran dan mereka harus pulang karena pandemi.
"Ketidakseimbangan pasokan dan permintaan tentu saja akan melambungkan harga CPO dan minyak nabati lainnya. Langkah drastis yang diambil Indonesia akan berdampak besar terhadap sejumlah negara," tutur Wee, seperti dikutip dari Channel News Asia.
Inflasi menjadi kekhawatiran global setelah perang Rusia-Ukraina meletus 24 Februari lalu. Status Ukraina dan Rusia sebagai salah satu produsen utama minyak nabati dunia turut andil dalam melambungkan inflasi global.
Badan Pangan Dunia (FAO) Food Price Index melonjak ke level 159,3 di Maret, naik 12,6% daru Februari. Dana Moneter Internasional (IMF) juga telah menaikkan proyeksi inflasi global menyusul perang Rusia-Ukraina.
Untuk negara maju, inflasi tahun ini diperkirakan mencapai 5,7% naik dari 3,9% pada proyeksi sebelumnya. Sementara itu, untuk negara berkembang, inflasi diperkirakan meningkat tahun ini menjadi 8,7%, dari sebelumnya 5,9%. IMF juga mengkoreksi inflasi Indonesia akan berada di titik atas target Bank Indonesia yang ada di kisaran 2-4%.
IMF mengatakan perang Rusia-Ukraina semakin melambungkan inflasi global yang sebenarnya sudah melonjak sebelum perang terjadi.
"Sebelum perang, inflasi sudah naik karena melonjaknya harga komoditas sebagai dampak pandemi Covid-19. Pandemi membuat keseimbangan pasokan dan permintaan terganggu," tutur IMF, dalam laporannya World Economic Outlook: War Sets Back the Global Recovery.
Harga komoditas pangan di sejumlah kawasan, sebelum perang, juga sudah melonjak karena gangguan cuaca. "Perang semakin membuat pasokan terganggu. Harga komoditas logam, mineral energi, dan pangan pun melonjak," tutur IMF.
Sebagai catatan, inflasi Amerika Serikat (AS) melonjak 8,5% (year on year/YoY) di Maret, level tertinggi dalam 40 tahun. Sementara itu, Brasil melonjak 11,3% (YoY) dan Indonesia sendiri mencatatkan inflasi sebesar 2,64% (YoY) yang merupakan level tertinggi sejak April 2020.
![]() |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Minyak Goreng & Telur Ayam Naik, Oktober Inflasi 0,37%
