
Eropa Waswas, Embargo Migas Rusia Jadi "Senjata Makan Tuan"

Sebenarnya, secara detil, para pemimpin Eropa lainnya juga mengungkapkan kekhawatiran yang sama. Perdana Menteri Republik Cekoslovakia mengatakan bahwa tidak mungkin untuk segera meninggalkan gas Rusia, mengingat negerinya bergantung 90% pada hidrokarbon Moskow.
Negara lain yang ikut buka suara termasuk Austria, Hongaria dan Italia. Austria sejatinya sudah sejak awal mengesampingkan sanksi atas impor minyak dan gas dari Rusia.
"Jika sanksi lebih mengenai diri sendiri daripada yang lain, saya pikir itu bukan cara yang tepat," kata Menteri Keuangan Austria Magnus Brunner awal April.
Kanselir Karl Nehammer, mengatakan dia mengharapkan lebih banyak sanksi Uni Eropa terhadap Rusia, tetapi membela keputusan negaranya yang menolak untuk memotong pengiriman gas Rusia. Ia sendiri bertemu Putin di Moskow pada 11 April.
Kekhawatiran juga disebut Italia. Pejabat Italia mengatakan Rusia memasok 38% gas alam yang digunakan untuk listrik dan industri berat, termasuk pabrik baja dan kertas.
"Italia tidak dapat memveto sanksi mengenai gas Rusia," kata Menteri Luar Negeri Luigi Di Maio, yang telah melakukan perjalanan ke negara-negara penghasil energi demi mencari alternatif lain, mengatakan kepada kantor berita ANSA.
Perlu diketahui, Italia memang telah menandatangani kesepakatan dengan Aljazair untuk mengurangi ketergantungannya pada bahan bakar fosil Rusia. Aljazair saat ini merupakan pemasok gas terbesar kedua di Italia.
Namun negeri itu hanya mengirimkan 21 miliar meter kubik gas ke Italia. Ini lebih kecil dibandingkan dengan 30 miliar meter kubik yang diterima dari Rusia.
Hongaria juga sangat bergantung pada energi Rusia. Negeri ini juga ikut mementang sanksi tersebut.
Seperti yang diungkapkan oleh perdana menteri nasionalis sayap kanan jauhnya, Viktor Orbán, ia akan memveto setiap upaya untuk memberlakukan embargo energi Rusia. Karena, dalam pandangannya, itu akan "membunuh" negaranya.
Halaman 3>>
(fsd/sef)