Bukan Perang! Ini Biang Keladi Harga Minyak Tinggi & Awet

Pratama Guitarra, CNBC Indonesia
21 April 2022 10:45
FILE PHOTO: A pump jack operates in the Permian Basin oil production area near Wink, Texas U.S. August 22, 2018. Picture taken August 22, 2018. REUTERS/Nick Oxford/File Photo
Foto: Ilustrasi produksi minyak (REUTERS/Nick Oxford)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia dalam beberapa bulan terakhir ini masih mendidih dan belum ada tanda-tanda akan mendingin. Sampai pada Kamis pagi (21/4/2022) ini harga minyak mentah dunia jenis Brent mencapai level US$ 108,17 per barel.

Kalau bukan karena tensi panas atau perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, apa yang jadi biang keladinya?

Praktisi Migas Senior sekaligus Mantan Gubernur Indonesia untuk OPEC, Widhyawan Prawiraatmaja menyatakan bahwa, tingginya harga minyak mentah dunia tak cuma bermuara pada perang antara Rusia dan Ukraina.

Hanya saja memang risiko geopolitik ini menambah ketidakpastian supply and demand yang membuat harga menjadi tinggi. Namun sebelum terjadinya perang ini, harga minyak mentah dunia sudah berada di level yang tinggi atau mencapai sekitar US$ 80 - US$ 85 per barel.

Hal itu karena dunia tengah menggencarkan transisi energi dari energi fosil termasuk minyak ke energi baru dan terbarukan (EBT). Transisi energi muncul tatkala dunia mulai menyadari tentang adanya perubahan iklim.

"Harga tinggi itu bukan karena perang Rusia-Ukraina saja, perangnya itu menambah risiko, premium risk dari geopolitics. Kita tahu sebelum perang udah sampai ke 85 dolar per barrel. Ternyata pada saat orang sudah ingin meninggalkan fosil fuel permintaannya tetap tinggi," ungkap Widhyawan dalam diskusi bersama Media dan Indonesia Petroleum Association (IPA).

Kenaikan harga minyak dunia juga seiring dengan pandangan akan energi fosil yang memiliki risiko tambahan karena memiliki emisi karbon. Alhasil, kebutuhan untuk investasi di sektor minyak ini akan menimbulkan tambahan risiko.

Di sisi lain, pada saat kurva Covid-19 mengalami peningkatan, permintaan akan minyak mengalami penurunan hampir seperempat atau 22%. Tercatat pada periode itu stok minyak dunia mencapai 78 juta barel per hari dari yang tadinya hampir 100 juta barel.

"Harga anjlok berat, terus suplai menyesuaikan OPEC+. Nah sekarang ada faktor perang, karena Rusia adalah produsen tiga besar di dunia yang dapat mengikis supply and demand," tandas Widhyawan.

Namun yang jelas, tingginya harga minyak mentah dunia ini seharusnya menjadi momentum bagi Indonesia untuk memompa produksi migas di dalam negeri. "Kenaikan harga ini bisa menjadi momentum meningkatkan produksi, tetapi untuk jangka panjang PR kita masih banyak untuk menarik investasi masuk ke Indonesia," kata Widhyawan.

Situasi kenaikan harga minyak memang tidak serta merta membuat investor tertarik untuk berinvestasi atau melakukan kegiatan eksplorasi. Namun demikian, kata Widhyawan, Indonesia harus tetap mengoptimalkan daya tarik investasi migas pada tahun-tahun ke depan.

"Investasi migas ini adalah investasi jangka panjang, jadi investor harus memiliki keyakinan dalam melaksanakan kegiatan usahanya, untuk itulah UU Migas menjadi solusi untuk menarik investasi migas ke Indonesia," ujar dia.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sampai Kapan Biang Kerok Kenaikan Pertamax Ini Turun?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular