Sampai Kapan Biang Kerok Kenaikan Pertamax Ini Turun?

Pratama Guitarra, CNBC Indonesia
20 April 2022 12:45
Suasana pengisian BBM di SPBU Bojongsari, Jawa Barat, Jumat (14/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Suasana pengisian BBM di SPBU Bojongsari, Jawa Barat, Jumat (14/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia masih mendidih di atas level US$ 100 per barel, tingginya harga fosil fuel itu memang sulit diprediksi kapan akan mereda. Bagi eksprotir tingginya harga minyak sangat menguntungkan, namun tidak bagi importir minyak seperti Indonesia.

Sampai pada Rabu pagi (20/4/2022), harga minyak mentah jenis Brent mencapai US$ 108,23 per barel.

Di Indonesia sendiri, kenaikkan harga minyak mentah dunia ikut mempengaruhi harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) menjadi US$ 113,5 per barel pada Maret 2022, jauh di atas asumsi APBN yang hanya sebesar US$ 63 per barel.

Tingginya harga minyak mentah dunia yang mempengaruhi ICP tentunya mengerek harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia khususnya BBM non subsidi seperti RON 92 atau Pertamax. Lalu kapan harga ini bisa turun?

Praktisi Migas senior yang juga mantan Gubernur Indonesia Untuk OPEC, Widhyawan Prawiraatmaja menyatakan, dalam konteks harga minyak mentah dunia yang sangat tinggi ini terjadi bukan soal supply and demand. Namun, terjadi juga karena ada masalah geopolitik di tengah ketidakpastian beberapa hal. Seperti: perubahan iklim dan transisi energi.

"Untuk transisi energi yang harusnya menjauhi fosil fuel, tapi ternyata ketergantungan fosil fuel sangat tinggi sehingga terjadi sesuatu yang kaitanya dengan harga yang sedemikian tinggi. Jadi harga tinggi itu bukan karena perang Rusia-Ukraina saja, perangnya itu menambah risiko, premium risk dari geopolitics," ungkap Widhyawan dalam bincang-bincang bersama Media dan Indonesia Petroleum Association (IPA), Selasa (19/4/2022).

Tingginya harga minyak mentah dunia, kata Widhyawan, terjadi bukan hanya karena perang Rusia dan Ukraina saja. Dalam tahun-tahun belakangan harga minyak mentah dunia ini sudah mencapai di level US$ 80 per barel. Alasannya karena pada saat dunia ingin meninggalkan energi fosil di waktu yang bersamaan minyak mentah dianggap memiliki risiko tambahan emisi karbon.

hal ini yang juga turut membuat harga emas cair ini harganya mengalami lonjakan. "Cuma ga tau kapan (harganya akan turun)," ungkap dia.

Namun yang jelas, sejatinya tingginya harga minyak mentah dunia ini menjadi momentum bagi Indonesia untuk memompa produksi migas di dalam negeri,. "Kenaikan harga ini bisa menjadi momentum meningkatkan produksi, tetapi untuk jangka panjang PR kita masih banyak untuk menarik investasi masuk ke Indonesia," kata Widhyawan.

Situasi kenaikan harga minyak memang tidak serta merta membuat investor tertarik untuk berinvestasi atau melakukan kegiatan eksplorasi. Namun demikian, kata Widhyawan, Indonesia harus tetap mengoptimalkan daya tarik investasi migas pada tahun-tahun ke depan.

"Investasi migas ini adalah investasi jangka panjang, jadi investor harus memiliki keyakinan dalam melaksanakan kegiatan usahanya, untuk itulah UU Migas menjadi solusi untuk menarik investasi migas ke Indonesia," ujar dia.

Sementara itu, Deputi Perencanaan SKK Migas Benny Lubiantara pada kesempatan yang sama mengatakan, saat ini Indonesia harus bersaing dengan negara-negara lain dalam menarik minat investasi dari para investor besar. Menurutnya, industri hulu migas nasional membutuhkan pembenahan dari sisi fiskal dan nonfiskal. Selain itu, perlu ada perbaikan untuk proses perizinan.

"Insentif menjadi penting karena dari sisi kebijakan fiscal Indonesia masih kurang menarik bagi investor migas dibandingkan Negara lain," ujar dia.

Benny menambahkan, hal penting yang harus menjadi focus saat ini adalah memanfaatkan momentum kenaikan harga minyak dunia untuk memberikan sinyal yang menarik bagi investasi migas di Indonesia "Insentif, kebijakan fiscal dan kemudahan untuk berusaha semuanya bermuara di RUU Migas," kata dia.

Untuk itu, ia berharap agar RUU Migas yang kini sedang dibahas bisa segera selesai sehingga payung hukum tersebut bisa memberikan kepastian bagi investor dalam melaksanakan kegiatan usaha migas dan menarik lebih banyak investasi ke Indonesia.

Seperti diketahui, SKK Migas saat ini terus memacu produksi minyak dan gas bumi dengan mempercepat onstream 12 proyek migas pada tahun ini. Dari jumlah tersebut, diproyeksikan lima proyek hulu migas akan onstream pada kuartal dua tahun 2022.

Berkaca pada produksi minyak tahun 2021 yang hanya mencapai 660.000 bph dari target produksi sebesar 705.000 bph, kebutuhan minyak akan terus bertambah setiap tahunnya. Konsumsi minyak pada 2050 diperkirakan meningkat sebesar 139% dari konsumsi saat ini yang sekitar 1,66 juta barel per hari (bph) menjadi 3,97 juta bph pada 2050.

Sementara untuk konsumsi gas diperkirakan akan meningkat lebih besar lagi. Konsumsi gas saat ini sekitar 6.000 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), lalu diperkirakan akan meningkat menjadi 26.112 MMSCFD pada 2050 atau meningkat sebesar 298%.

Melihat potensi migas Indonesia yang sangat besar semestinya produksi masih dapat dimaksimalkan. Saat ini terdata Indonesia memiliki 128 cekungan migas, di mana yang sudah berproduksi baru sebanyak 20 cekungan, dan terdapat 27 cekungan yang sudah ada temuan, namun belum berproduksi.

Menurut Benny, momentum harga minyak dunia yang tinggi ini dimanfaatkan oleh SKK Migas dengan mendorong KKKS untuk melakukan investasi yang lebih agresif dan mendorong KKKS untuk melaksanakan programnya lebih dini di awal tahun. Termasuk di dalamnya adalah SKK Migas mengawal penyelesaian proyek hulu migas 2022.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Blak-blakan Pemerintah Soal Minyak Dunia, Subsidi Jebol?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular