Candu Dunia Terhadap Minyak Itu Masih Nyata!
Jakarta, CNBC Indonesia - Minyak mentah dunia tengah mengalami gejolak! Sejak beberapa bulan terakhir ini harga minyak mentah dunia ini terus mendidih dan nyaman di level lebih dari U$ 100 per barel. Sampai pada Rabu pagi (20/4/2022) harga energi fosil ini jenis Brent mencapai US$ 108,23 per barel.
Meski harga tinggi, minyak mentah bak candu bagi dunia, tak bisa dihindari untuk tetap dikonsumsi. Memang faktanya, minyak mentah menjadi salah satu penopang energi terbesar baik sebagai penghasil Bahan Bakar Minyak (BBM) hingga penggunaan ketenagalistrikan dan lainnya.
Akibat ketergantungan dunia terhadap energi fosil ini membuat dunia tak terkecuali Indonesia kelabakan. Khususnya pada saat harga minyak mentah dunia ini mengalami lonjakan yang signifikan. Maklum, Indonesia adalah negara importir migas dengan jumlah yang sangat banyak atau mencapai lebih dari 500 ribu barel per hari (bph).
Praktisi Migas senior yang juga mantan Gubernur Indonesia Untuk OPEC, Widhyawan Prawiraatmaja menyatakan, dalam konteks harga minyak mentah dunia yang sangat tinggi ini terjadi bukan soal supply and demand. Namun, terjadi juga karena ada masalah geopolitik di tengah ketidakpastian beberapa hal,. Seperti: perubahan iklim dan transisi energi.
"Untuk transisi energi yang harusnya menjauhi fosil fuel, tapi ternyata ketergantungan fosil fuel sangat tinggi sehingga terjadi sesuatu yang kaitanya dengan harga yang sedemikian tinggi. Jadi harga tinggi itu bukan karena perang Rusia-Ukraina saja, perangnya itu menambah risiko, premium risk dari geopolitics," ungkap Widhyawan dalam bincang-bincang bersama Meida dan Indonesia Petroleum Association (IPA), Selasa (19/4/2022).
Tingginya harga minyak mentah dunia, kata Widhyawan, terjadi bukan hanya karena perang Rusia dan Ukraina saja. Dalam tahun-tahun belakangan harga minyak mentah dunia ini sudah mencapai di level US$ 80 per barel.
"Pada saat dunia ingin meninggalkan energi fosil ini, permintaannya justru tetap tinggi. Di waktu yang bersamaan karena dianggap dia punya risiko tambahan karena dia emisi karbon, kebutuhan untuk investasi ada tambahan risiko karena akan ditinggalkan, cuma ga tau kapan. Tentu pertama kali batubara, minyak, kemudian baru ke gas," tandasnya.
Di sisi lain, karena harga minyak mentah dunia sedang tinggi-tingginya, mengungkapkan bahwa eksplorasi perlu dilakukan untuk mendongkrak produksi. Ditambah lagi, menurut dia, jika pemerintah melalui kontraktor migas bisa menemukan dua sampai tiga blok migas lain seperti Blok Cepu dengan produksi yang cukup tinggi.
"Kenaikan harga ini bisa menjadi momentum meningkatkan produksi, tetapi untuk jangka panjang PR kita masih banyak untuk menarik investasi masuk ke Indonesia," kata
Widhyawan mengatakan, situasi kenaikan harga minyak memang tidak serta merta membuat investor tertarik untuk berinvestasi atau melakukan kegiatan eksplorasi karena kenaikan itu salah satunya disebabkan oleh ketidakpastian kondisi geopolitik saat ini.
Namun demikian, Indonesia harus tetap mengoptimalkan daya tarik investasi migas pada tahun-tahun ke depan.
"Investasi migas ini adalah investasi jangka panjang, jadi investor harus memiliki keyakinan dalam melaksanakan kegiatan usahanya, untuk itulah UU Migas menjadi solusi untuk menarik investasi migas ke Indonesia," ujar dia.
Semantara itu, Deputi Perencanaan SKK Migas Benny Lubiantara pada kesempataan yng sama mengatakan, saat ini Indonesia harus bersaing dengan negara-negara lain dalam menarik minat investasi dari para investor besar. Menurutnya, industri hulu migas nasional membutuhkan pembenahan dari sisi fiskal dan nonfiskal. Selain itu, perlu ada perbaikan untuk proses perizinan.
"Insentif menjadi penting karena dari sisi kebijakan fiscal Indonesia masih kurang menarik bagi investor migas dibandingkan Negara lain," ujar dia.
(pgr/pgr)