Heboh Fenomena Arab Spring Muncul, Ini Negara yang Bisa Kena
Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena "Arab Spring" kembali terdengar. Ini terkait kondisi geopolitik dunia yang tidak stabil saat ini, yang memicu krisis di beberapa negara.
Adalah peneliti dari Institut Studi Asia Selatan di Universitas Nasional Singapura, Chulanee Attanayake yang kembali mengutarakannya ke publik. Ia menggunakan Arab Spring untuk merujuk krisis dan kerusuhan yang terjadi di Sri Langka.
Attanayake menyebut kondisi yang terjadi di Negeri Ceylon itu saat ini mirip dengan pemicu fenomena Arab Spring.
"Di Sri Lanka sedang terjadi protes anti-pemerintah soal keterpurukan ekonomi, inflasi yang tinggi dan masalah kekurangan kebutuhan pokok. Slogan-slogan yang mirip yang digunakan saat Arab Spring melanda," katanya seperti dikutip CNBC International, Rabu (13/4/2022)
Lalu apa itu Arab Spring?
Arab Spring sendiri merupakan suatu situasi politik di mana kekacauan sosial dan penggulingan pemerintahan terjadi beruntun di kawasan Arab. Kejadian ini sendiri dimulai pada musim semi 2011 di Tunisia dan menyebar ke beberapa negara Arab lainnya seperti Mesir, Libya, hingga Suriah.
Pada mulanya, semangat menggulingkan pemerintah ini dipicu oleh seorang pedagang kaki lima bernama Mohamed Bouazizi. Ia memutuskan untuk membakar dirinya sendiri sebagai bentuk kekesalan kepada pemerintah.
Saat itu, barang dagangan milik pedagang buah-buahan ini disita serta dirinya dilecehkan dan dihina pejabat kotapraja Ben Arous dan jajarannya. Kejadian ini menjadi viral dan memicu kemarahan dan demonstrasi warga di seluruh penjuru Tunisia.
Dalam demonstrasi itu, pengunjuk rasa meminta agar pemerintah yang dipegang oleh Presiden Zine El Abidine Ben Ali mundur. Demonstran mengatakan bahwa rezim Ben Ali yang telah berkuasa selama 23 tahun di negara itu tidak membawa perubahan kesejahteraan dan keadilan.
Dan benar, akibatnya, Ben Ali pun tumbang. Ia tak berkuasa lagi 14 Februari 2011.
Hal ini pun menginspirasi beberapa negara Arab lainnya untuk menentang pemerintah. Ini kemudian mulai merambat ke Mesir, di mana saat itu Presiden Hosni Mubarak masih memegang kursi kekuasaan selama 30 tahun terakhir.
Serupa dengan Tunisia, warga Mesir merasa kepemimpinan Mubarak tidak membawa kesejahteraan dan keadilan sosial. Bahkan, dalam demonstrasinya, warga Negeri Piramida itu meneriakkan slogan "roti, kebebasan dan keadilan sosial."
Dengan demonstrasi yang serupa dengan di Tunisia, warga Mesir berkumpul turun ke jalan mendesak Mubarak turun. Bahkan, ratusan ribu masyarakat sempat berkumpul di kota Kairo, tepatnya di Tahrir Square.
Selain itu, pengumpulan massa serupa juga terjadi di beberapa wilayah lain. Ini pun sempat memicu kerusuhan yang cukup besar.
Dalam protes yang disebut sebagai revolusi ini, hampir seribu warga Mesir harus kehilangan nyawa, baik sebelum maupun tak lama sesudah demo berakhir. Meski begitu, rezim Hosni Mubarak mundur pada 11 Februari 2011.
Militer saat itu langsung mengambil kendali kekuasaan dengan menugaskan Mohamed Hussein Tantawi sebagai presiden De Facto negara itu. Tantawi memimpin hingga Mohamed Morsi terpilih pada pemilu 2012.
Hal ini pun mulai merambat ke beberapa negara lainnya. Bahkan, kejadian penggulingan kekuasaan ini pun juga harus membawa perang saudara di Timur Tengah, seperti Libya dan Suriah.
Halaman 2>>
(sef/sef)