Internasional

Heboh Fenomena Arab Spring Muncul, Ini Negara yang Bisa Kena

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
13 April 2022 15:30
Demo Warga Sri lanka di Gedung Parlemen Sekretariat Presiden

Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena "Arab Spring" kembali terdengar. Ini terkait kondisi geopolitik dunia yang tidak stabil saat ini, yang memicu  krisis di beberapa negara.

Adalah peneliti dari Institut Studi Asia Selatan di Universitas Nasional Singapura, Chulanee Attanayake yang kembali mengutarakannya ke publik. Ia menggunakan Arab Spring untuk merujuk krisis dan kerusuhan yang terjadi di Sri Langka.

Attanayake menyebut kondisi yang terjadi di Negeri Ceylon itu saat ini mirip dengan pemicu fenomena Arab Spring.

"Di Sri Lanka sedang terjadi protes anti-pemerintah soal keterpurukan ekonomi, inflasi yang tinggi dan masalah kekurangan kebutuhan pokok. Slogan-slogan yang mirip yang digunakan saat Arab Spring melanda," katanya seperti dikutip CNBC International, Rabu (13/4/2022)

Lalu apa itu Arab Spring?

Arab Spring sendiri merupakan suatu situasi politik di mana kekacauan sosial dan penggulingan pemerintahan terjadi beruntun di kawasan Arab. Kejadian ini sendiri dimulai pada musim semi 2011 di Tunisia dan menyebar ke beberapa negara Arab lainnya seperti Mesir, Libya, hingga Suriah.

Pada mulanya, semangat menggulingkan pemerintah ini dipicu oleh seorang pedagang kaki lima bernama Mohamed Bouazizi. Ia memutuskan untuk membakar dirinya sendiri sebagai bentuk kekesalan kepada pemerintah.

Saat itu, barang dagangan milik pedagang buah-buahan ini disita serta dirinya dilecehkan dan dihina pejabat kotapraja Ben Arous dan jajarannya. Kejadian ini menjadi viral dan memicu kemarahan dan demonstrasi warga di seluruh penjuru Tunisia.

Dalam demonstrasi itu, pengunjuk rasa meminta agar pemerintah yang dipegang oleh Presiden Zine El Abidine Ben Ali mundur. Demonstran mengatakan bahwa rezim Ben Ali yang telah berkuasa selama 23 tahun di negara itu tidak membawa perubahan kesejahteraan dan keadilan.

Dan benar, akibatnya, Ben Ali pun tumbang. Ia tak berkuasa lagi 14 Februari 2011.

Hal ini pun menginspirasi beberapa negara Arab lainnya untuk menentang pemerintah. Ini kemudian mulai merambat ke Mesir, di mana saat itu Presiden Hosni Mubarak masih memegang kursi kekuasaan selama 30 tahun terakhir.

Serupa dengan Tunisia, warga Mesir merasa kepemimpinan Mubarak tidak membawa kesejahteraan dan keadilan sosial. Bahkan, dalam demonstrasinya, warga Negeri Piramida itu meneriakkan slogan "roti, kebebasan dan keadilan sosial."

Dengan demonstrasi yang serupa dengan di Tunisia, warga Mesir berkumpul turun ke jalan mendesak Mubarak turun. Bahkan, ratusan ribu masyarakat sempat berkumpul di kota Kairo, tepatnya di Tahrir Square.

Selain itu, pengumpulan massa serupa juga terjadi di beberapa wilayah lain. Ini pun sempat memicu kerusuhan yang cukup besar.

Dalam protes yang disebut sebagai revolusi ini, hampir seribu warga Mesir harus kehilangan nyawa, baik sebelum maupun tak lama sesudah demo berakhir. Meski begitu, rezim Hosni Mubarak mundur pada 11 Februari 2011.

Militer saat itu langsung mengambil kendali kekuasaan dengan menugaskan Mohamed Hussein Tantawi sebagai presiden De Facto negara itu. Tantawi memimpin hingga Mohamed Morsi terpilih pada pemilu 2012.

Hal ini pun mulai merambat ke beberapa negara lainnya. Bahkan, kejadian penggulingan kekuasaan ini pun juga harus membawa perang saudara di Timur Tengah, seperti Libya dan Suriah.

Halaman 2>>

Dengan kondisi ekonomi dunia yang sedang dilanda krisis, beberapa negara pun harus berada dalam bayang-bayang terkena fenomena Arab Spring kembali. Namun, kali ini, potensi itu sudah lebih menular bahkan di luar Timur Tengah.

Harga energi dan pangan global yang naik karena pemulihan ekonomi pasca Covid-19 menadi penyebab. Belum lagi, perang antara Rusia dan Ukraina menjadikan krisis ini semakin meluas.

Berikut negara-negara dunia yang mengalami krisis dan menuntut penggulingan kekuasaan:

1. Sri Lanka

Krisis ekonomi terparah sejak merdeka pada 1948 sedang menghantam Sri Lanka. Negara yang berada di Asia Selatan ini kini dilaporkan default atau gagal membayar utang luar negerinya senilai US$51 miliar atau setara Rp732 triliun (asumsi Rp14.360/US$) pada Selasa (12/4/2022).

Krisis di Sri Lanka sendiri sudah merebak sejak Februari lalu. Krisis ini ditandai oleh habisnya devisa negara diikuti oleh inflasi tajam.

Ketergantungan impor menjadi salah satu penyebabnya. Sri Lanka masih melakukan impor khususnya kepada bahan-bahan pertanian seperti pupuk, yang membuat produksi pertanian negara itu pun kacau, dan bahan bakar

Selain itu, pembayaran utang luar negeri juga membuat devisa negara itu boncos. Beberapa negara yang meminjamkan uangnya kepada Sri Lanka adalah China dan India.

Hal ini membuat warga turun ke jalan dan meminta Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa mundur. Ia dianggap tidak becus dalam menjalankan roda perekonomian negara itu.

Meski begitu, hingga saat ini Gotabaya belum memutuskan untuk mundur. Adik Gotabaya yang juga Perdana Menteri (PM) Mahindra Rajapaksa pun juga belum memutuskan untuk mundur.

2. Pakistan

Pakistan sendiri sebenarnya baru saja mengalami transisi kekuasaan yang juga diakibatkan oleh krisis ekonomi. Imran Khan, yang merupakan PM negara itu sejak 2018, digulingkan oleh parlemennya sendiri melalui mosi tidak percaya.

Khan digulingkan pasca seminggu yang panas di parlemen. Hal ini terkait ekonomi.

Ia dianggap tak becus mengurus perekonomian negara di tengah pandemi Covid-19. Pakistan mencatat inflasi yang tinggi, dua digit, yang mendominasi sebagian besar masa jabatannya.

Bukan hanya itu, kebijakannya yang mengumumkan pemotongan harga bahan bakar dan listrik domestik di tengah kenaikan harga global, menjadi boomerang. Langkah ini menambah tekanan lebih lanjut pada defisit fiskal Pakistan yang selama ini memang punya masalah kronis, belum lagi neraca perdagangan.

Pekan kemarin mata uang Pakistani rupee (PKR) juga jatuh ke posisi terendah dalam sejarah terhadap dolar AS. Bank sentral Pakistan, Bank Negara Pakistan, juga menaikkan suku bunga secara tajam dalam pertemuan darurat.

Sementara itu, Shehbaz Sharif didaulat menjadi pengganti Khan pada Senin lalu, Ia akan memimpin sementara hingga pemilu yang diperkirakan akan terjadi di tahun 2023. Saat dilantik, ia berjanji akan memperkenalkan kenaikan 10% dalam dana pensiun.

3. Tunisia

Kondisi politik di Tunisia kembali memanas sejak Juli 2021 lalu. Ini diawali oleh pemecatan Perdana Menteri (PM) Hichem Mechichi oleh Presiden Kais Saeid. Saeid merasa pemerintahan Mechichi mengalami kegagalan dalam menanggulangi Covid-19 serta isu ekonomi.

Sebelum penggulingan Mechichi, terjadi demo besar-besaran dan penjarahan yang dilakukan oleh para demonstran. Mereka memprotes kebijakan Covid yang membuat kegiatan ekonomi terganggu. Ini ditambah lagi tingginya angka pengangguran dan isu korupsi.

Hal ini sendiri, nyatanya, tidak sepenuhnya oleh warga. Demonstran pun mulai kembali turun ke jalan untuk melakukan aksi untuk mendukung dan juga menentang kebijakan Saeid. Demonstrasi semakin kencang disuarakan pihak oposisi Saeid tatkala muncul wacana pembubaran parlemen.

Puncaknya, pada 6 Februari, Saeid benar-benar membubarkan parlemen. Ini dianggap sebagai kemunduran besar demokrasi yang telah tumbuh di negara itu dengan Saeid menempatkan dirinya sebagai pemimpin tunggal di negara semi-presidensial itu.

Bahkan, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyebut bahwa pembubaran parlemen Tunisia yang dilakukan Saeid telah menodai demokrasi. Erdogan yakin hal ini tidak sesuai dengan kehendak rakyat.

"Demokrasi adalah sistem yang merupakan perwujudan dari rasa hormat antara yang dipilih dan yang ditunjuk. Kami melihat perkembangan di Tunisia sebagai noda demokrasi," katanya.

"Membubarkan parlemen di mana ada pejabat terpilih adalah pemikiran untuk masa depan Tunisia dan merupakan pukulan bagi kehendak rakyat," tambahnya.

4. Peru

Peru juga pada bulan ini mengalami kondisi politik yang cukup tidak stabil. Ini didorong oleh krisis pangan dan energi negara itu. Akibatnya, warga meminta agar Presiden Padro Castillo mengundurkan diri dari jabatannya.

Pengunduran diri ini juga diiringi oleh demonstrasi besar-besaran yang dilakukan. Bahkan, dilaporkan hingga saat ini sedikitnya enam orang tewas dalam protes menentang kekuasaan Castillo.

Hingga saat ini, Castillo belum menunjukan tanda-tanda dirinya ingin mundur. Ia justru memperketat keamanan negara dengan menerapkan jam malam.

5. Lebanon

Lebanon telah mengalami krisis ekonomi bahkan dari tahun-tahun sebelumnya. Dilaporkan bahwa negara itu sempat mengalami krisis energi dan obat-obatan.

Negara bersimbol Pohon Cedar itu telah bergulat dengan krisis ekonomi sejak 2019, dengan nilai mata uang merosot hingga 90%. Wakil Perdana Menteri Lebanon, Saadeh al-Shami bahkan mengatakan, negara dan bank sentralnya telah bangkrut, awal pekan lalu.

Sementara itu, Lebanon saat ini juga mengalami lonjakan harga pangan karena negara itu mendapatkan antara 70% dan 80% gandum impor dari Rusia dan Ukraina. Silo biji-bijian utama juga hancur selama ledakan tahun 2020 di pelabuhan Beirut.

Menteri Perdagangan dan Ekonomi Lebanon, Amin Salam, mengatakan negaranya kini sedang berjuang untuk menemukan pasar baru yang memenuhi kualifikasi rotinya.

"Kami telah berhubungan dengan sejumlah negara, termasuk AS, Prancis, India, Kazakhstan ... karena kami sangat membutuhkan jumlah kecil di Lebanon mengingat ukuran populasinya," kata Salam, dikutip dari CNN International.

"Lebanon belum pulih dari inflasi global pada makanan dan komoditas setelah Covid-19, sekarang kami memiliki masalah ini yang menambah lapisan kesulitan lain pada saat Lebanon sedang berjuang dengan ekonomi," tambahnya.

Sementara itu, delegasi Dana Moneter Internasional (IMF) saat ini berada di Lebanon untuk pertemuan ekstensif dengan para pejabat. Salam mengatakan mereka berharap dapat mencapai kesepakatan bagi penyelamatan ekonomi negaranya.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular