
Investasi Migas RI Masih Tak Menarik, Silahkan Introspeksi!

Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) mengungkapkan investasi yang ditawarkan pemerintah pada sektor minyak dan gas, dinilai masih kurang memikat para investor. Pemerintah pun diminta untuk mengevaluasi kembali.
Sekjen Aspermigas Moshe Riza menjelaskan, saat ini di tengah banyak negara sudah mulai membatasi restriksi dan menuju endemi, permintaan akan minyak dan gas akan kembali normal, mengarah seperti sebelum adanya pandemi.
Oleh karena itu, saat ini menurut Moshe adalah waktu yang tepat bagi pemerintah untuk berbenah menciptakan iklim investasi yang dapat menarik investor.
Pasalnya bagaimana pun besarnya perusahaan migas di dalam negeri, masih akan membutuhkan modal yang besar untuk mengelola dan menghasilkan migas di dalam negeri. Mencari investor pun harus tetap dilakukan.
Terlebih, berdasarkan catatan Aspermigas cadangan minyak di Indonesia mencapai 4,2 miliar barel. Itu pun belum termasuk area-are yang lain yang masih belum tereksplorasi.
"Jadi potensi kita cukup besar. Namun memang bukan lapangan-lapangan yang mudah lagi. Sudah ke laut lepas, sudah ke Indonesia Timur. Di mana di timur ini banyak kendala, karena infrastruktur masih belum banyak yang terbangun," jelas Moshe kepada CNBC Indonesia, Senin (21/3/2022).
"Masih adakah potensi untuk mengembangkan lagi? Jelas. Tapi pemerintah harus menciptakan iklim investasi yang tepat. Dengan insentif-insentifnya, term and condition contract, dan memberikan kepastian hukum dengan UU Migas yang baru, yang sudah kita tunggu-tunggu sejak belasan tahun," kata Moshe.
Pemerintah Indonesia, menurut Moshe harus melakukan revolusi besar-besar-besaran. Karena situasi global pada industri migas saat ini terbilang mengalami banyak tekanan untuk menuju masa transisi energi.
Perusahaan migas multinasional atau international oil company itu mulai bertransisi, seperti Shell, Total dan perusahaan-perusahaan lainnya. "Mereka menyatakan dirinya bukan lagi sebagai international oil company, tapi integrated energy company," tuturnya.
Nah, tekanan-tekanan seperti itu, yang menurut Moshe akan membuat mereka berpikir lebih lanjut untuk memperbaiki portfolio mereka, seperti apa yang patut dikembangkan dan apa yang harus dikurangi.
Di satu sisi, bukan hanya Indonesia yang membutuhkan investor, tapi juga negara-negara lain yang juga punya cadangan cukup signifikan. Tentu Indonesia harus bersaing dengan mereka.
Menurut Moshe, salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan survey pasar atau market survey kepada negara-negara lain yang juga merupakan produsen migas.
Indonesia harus bisa jeli melihat, apa yang negara lain tawarkan kepada investor, seberapa besar cadangan mereka, seberapa besar data yang mereka tawarkan, seberapa menarik investasi mereka di mata investor. Setelah itu bandingkan dengan kondisi di dalam negeri, apa yang kurang dari Indonesia dan apa yang mesti diubah.
"Di pasar investasi ini kita bersaing dengan banyak negara produsen-produsen migas yang juga cari investor, dan mereka menawarkan insentif, menawarkan perubahan-perubahan kontrak yang menarik, dan sebagainya," jelas Moshe.
"Saya sarankan pemerintah untuk selalu introspeksi diri, melihat ke luar sana, dan membandingkan. Kita market survey, benchmarking terhadap negara-negara lain," tuturnya.
Moshe juga menyayangkan, bahwa pada faktanya Indonesia merupakan salah satu negara yang menciptakan kebijakan post recovery dan itu diadopsi oleh berbagai negara yang lain. Namun, negara yang mengadopsi kebijakan pemerintah itu justru bisa mengkalkulasi dengan tepat dan menarik investor.
"Sementara kita masih stuck di term-term yang cukup lama. Dan Undang-Undang Migas 2001 yang sekarang masih berlaku, itu juga menghilangkan insentif yang pernah industri migas terima sebelumnya. Memang setelah banyak sekali negosiasi dan dialog dengan pemerintah, satu persatu dikembalikan dan tidak semuanya," jelasnya.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sederet Biang Kerok Investasi Minyak Lesu Walau Harga Meroket