
Sederet Biang Kerok Investasi Minyak Lesu Walau Harga Meroket

Jakarta, CNBC Indonesia - Potensi hidrokarbon alias minyak dan gas bumi (migas) di dalam negeri masih sangat besar. Namun sayangnya, masih kurang dilirik oleh para investor karena berbagai alasan, salah satunya adalah tidak menariknya insentif yang ditawarkan pemerintah.
Hal tersebut disampaikan langsung oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal kepada CNBC Indonesia, Senin (21/3/2022).
Moshe menjelaskan, berdasarkan data yang dimilikinya, cadangan migas di Indonesia mencapai 4,2 miliar barel. Itu pun belum menghitung kawasan-kawasan lainnya yang belum tereksplorasi.
Padahal, untuk melakukan eksplorasi cadangan migas yang belum tersentuh itu membutuhkan investasi yang besar, karena sebagian susah dieksplorasi - sudah mulai mengarah untuk mengais cadangan di laut lepas dan berlokasi di Indonesia bagian Timur.
"Di satu sisi insentif juga berkurang. Sementara di luar sana situasi pasar semakin meningkat persaingannya," tutur Morshe.
Selain itu, menurutnya faktor lain yang membuat calon investor enggan berinvestasi di hulu migas Tanah Air juga terkait isu nasionalisasi pengelolaan blok migas, seperti yang terjadi pada Blok Mahakam dan Blok Rokan yang kini sudah diambil alih PT Pertamina (Persero).
"Memang diambil dengan proses yang sah dan legal. Tapi, dari mata investor itu seolah-olah ada move (kebijakan) dari pemerintah untuk nasionalisasi lapangan-lapangan yang sukses," ujarnya.
"Isu itu harus di-counter, karena itu mereka akan melihat kalau ambil lapangan yang bagus dan sukses memproduksinya, nanti saya gak diperpanjang lagi kontraknya dan diambil oleh Pertamina dan perusahaan-perusahaan migas BUMN lainnya. Nah itu harus ditepis isu-isu seperti itu," kata Morshe lagi.
Lagi pula, perusahaan sebesar Pertamina pun menurutnya masih harus membutuhkan sokongan dari investor luar negeri, karena saat ini Indonesia belum mampu mengembangkan teknologi untuk mengeruk cadangan migas.
Juga, dalam melakukan eksplorasi cadangan migas di Tanah Air dibutuhkan perusahaan-perusahaan yang sudah berpengalaman dan tentunya memiliki finansial yang kuat.
"Jadi, hal seperti itu harus bisa ditanggulangi dan ditepis oleh pemerintah dan tingkatkan insentif-insentif, kontrak juga harus diperbaiki, hilangkan ketidakpastian dari terms di kontrak, dan sebagainya," jelas Morshe.
Kendati demikian, Aspermigas memandang positif upaya pemerintah untuk melakukan perubahan iklim investasi di sektor migas. Misalnya saja beberapa tahun lalu dengan adanya kebijakan fleksibilitas pemilihan kontrak migas, di mana kontraktor bisa memilih kontrak kerja sama (PSC) gross split atau cost recovery.
Namun menurutnya kebijakan itu pun masih memiliki keuntungan dan kerugian untuk investor. Pemerintah pun disarankan untuk mengkaji ulang dan merevisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi No.22 tahun 2001 yang saat ini masih dibahas antara pemerintah dan DPR.
"Jadi itu harus di-review lagi oleh pemerintah dan dengan UU Migas baru dan cepat-cepat untuk bisa diimplementasikan, bisa meningkatkan kepercayaan investor. Dan pemerintah lebih giat revolusi di green investasinya," jelasnya.
Sebagai gambaran, skema gross split adalah skema di mana perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja migas antara pemerintah dan kontraktor migas diperhitungkan di muka.
Melalui skema gross split, negara akan mendapatkan bagi hasil migas dari pendapatan kotor, sehingga penerimaan negara menjadi lebih pasti.
Dengan skema gross split, biaya operasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab kontraktor. Tidak seperti kontrak bagi hasil skema cost recovery, di mana biaya operasi (cost) yang sudah dikeluarkan kontraktor bisa dikembalikan (reimburse) oleh pemerintah.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Berisiko Tinggi Alami Tumpahan Minyak dari Kegiatan Migas