
Efek Perang Ukraina: Si Kaya Tambah Kaya, Si Miskin Sengsara!

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang Rusia versus Ukraina berdampak ke mana-mana. Buat mereka yang berduit, perang menciptakan peluang untuk mengeruk untung sebanyak-banyaknya. Namun bagi mereka yang kurang beruntung, perang malah membuat makin buntung.
Konflik bersenjata Rusia-Ukraina sudah memasuki pekan ketiga. Di tengah upaya pembicaraan damai, pasukan Rusia terus melancarkan gempuran.
Terbaru, pabrik roti di Kota Makariv dihantam misil yang diluncurkan pesawat tempur Rusia. Setidaknya 13 orang meninggal dunia dalam serangan ini.
Perang ini menjadi krisis kemanusiaan. Jutaan rakyat Ukraina terpaksa mengungsi, dicabut dari akarnya. Korban jiwa pun terus bertambah.
Namun dampak perang ini meluas ke berbagai arah, termasuk ke aspek ekonomi. Di tengah ancaman sanksi bagi Rusia serta hambatan produksi dan distribusi akibat perang, harga berbagai komoditas melambung jauh terbang tinggi.
Harga minyak, misalnya. Dalam sebulan terakhir, harga minyak jenis brent dan light sweet melonjak masing-masing 35,54% dan 34,79%.
Ancaman sanksi larangan ekspor buat Rusia membuat pasar minyak dunia dilanda kepanikan. Rusia adalah salah satu produsen minyak utama dunia. US Energy Information Administration mencatat produksi minyak Negeri Beruang Merah pada 2020 adalah 10,5 juta barel/hari. Rusia menempati peringkat tiga dunia, hanya kalah dari AS dan Arab Saudi.
"Gangguan pasokan sepertinya bakal semakin parah. Kini tidak ada yang mau menggantungkan diri terhadap produk dari Rusia," ujar Andrew Lipow, Presiden Lipow Oil Association yang berkedudukan di Houston (AS), seperti dikutip dari Reuters.
Tanpa pasokan minyak dari Rusia, dunia akan sangat kehilangan. Persediaan akan sangat berkurang sehingga harga diperkirakan bakal naik terus.
"Dalam waktu dekat, harga brent akan menyentuh US$ 125/barel. Ke depan, sangat mungkin harga naik lebih dari itu. Jika perang berkepanjangan, maka harga akan terdorong setidaknya sampai ke US$ 150/barel," kata Giovanni Staunovo, Analis Komoditas UBS, juga diberitakan Reuters.
Kemudian di sektor pertambangan, harga batu bara juga meroket. Kemarin, harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) ditutup di US$ 435/ton. Naik 6,87% dari hari sebelumnya dan menyentuh rekor tertinggi setidaknya sejak 2008.
Ini membuat harga batu bara naik selama dua hari beruntun. Dalam dua hari tersebut, harga melonjak 21,35%. Wow...
Tidak cuma migas dan pertambangan, harga komoditas pangan juga melejit. Harga gandum di Chicago Board of Trade pada perdagangan kemarin ditutup di US$ 12,52/bushel. Ini adalah rekor tertinggi sejak Maret 2008.
Jangan heran, karena Rusia dan Ukraina menyumbang 30% dari ekspor gandum dunia. Jadi kalau dua negara itu sedang panas, bahkan sampai terjadi perang, maka produksi dan distribusi gandum bakal seret. Belum lagi kalau Rusia dihukum sanksi larangan ekspor, pasokan gandum ke pasar dunia akan semakin sedikit. Makanya harga langsung melejit.
Halaman Selanjutnya --> Harga Sembako Beterbangan Karena Perang
