Efek Perang Ukraina: Si Kaya Tambah Kaya, Si Miskin Sengsara!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 March 2022 11:35
Potret Kampung Bayam yang Terdampak Pembanguan Stadion JIS (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Potret Kampung Bayam yang Terdampak Pembanguan Stadion JIS (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang Rusia versus Ukraina berdampak ke mana-mana. Buat mereka yang berduit, perang menciptakan peluang untuk mengeruk untung sebanyak-banyaknya. Namun bagi mereka yang kurang beruntung, perang malah membuat makin buntung.

Konflik bersenjata Rusia-Ukraina sudah memasuki pekan ketiga. Di tengah upaya pembicaraan damai, pasukan Rusia terus melancarkan gempuran.

Terbaru, pabrik roti di Kota Makariv dihantam misil yang diluncurkan pesawat tempur Rusia. Setidaknya 13 orang meninggal dunia dalam serangan ini.

Perang ini menjadi krisis kemanusiaan. Jutaan rakyat Ukraina terpaksa mengungsi, dicabut dari akarnya. Korban jiwa pun terus bertambah.

Namun dampak perang ini meluas ke berbagai arah, termasuk ke aspek ekonomi. Di tengah ancaman sanksi bagi Rusia serta hambatan produksi dan distribusi akibat perang, harga berbagai komoditas melambung jauh terbang tinggi.

Harga minyak, misalnya. Dalam sebulan terakhir, harga minyak jenis brent dan light sweet melonjak masing-masing 35,54% dan 34,79%.

Ancaman sanksi larangan ekspor buat Rusia membuat pasar minyak dunia dilanda kepanikan. Rusia adalah salah satu produsen minyak utama dunia. US Energy Information Administration mencatat produksi minyak Negeri Beruang Merah pada 2020 adalah 10,5 juta barel/hari. Rusia menempati peringkat tiga dunia, hanya kalah dari AS dan Arab Saudi.

"Gangguan pasokan sepertinya bakal semakin parah. Kini tidak ada yang mau menggantungkan diri terhadap produk dari Rusia," ujar Andrew Lipow, Presiden Lipow Oil Association yang berkedudukan di Houston (AS), seperti dikutip dari Reuters.

Tanpa pasokan minyak dari Rusia, dunia akan sangat kehilangan. Persediaan akan sangat berkurang sehingga harga diperkirakan bakal naik terus.

"Dalam waktu dekat, harga brent akan menyentuh US$ 125/barel. Ke depan, sangat mungkin harga naik lebih dari itu. Jika perang berkepanjangan, maka harga akan terdorong setidaknya sampai ke US$ 150/barel," kata Giovanni Staunovo, Analis Komoditas UBS, juga diberitakan Reuters.

Kemudian di sektor pertambangan, harga batu bara juga meroket. Kemarin, harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) ditutup di US$ 435/ton. Naik 6,87% dari hari sebelumnya dan menyentuh rekor tertinggi setidaknya sejak 2008.

Ini membuat harga batu bara naik selama dua hari beruntun. Dalam dua hari tersebut, harga melonjak 21,35%. Wow...

Tidak cuma migas dan pertambangan, harga komoditas pangan juga melejit. Harga gandum di Chicago Board of Trade pada perdagangan kemarin ditutup di US$ 12,52/bushel. Ini adalah rekor tertinggi sejak Maret 2008.

Jangan heran, karena Rusia dan Ukraina menyumbang 30% dari ekspor gandum dunia. Jadi kalau dua negara itu sedang panas, bahkan sampai terjadi perang, maka produksi dan distribusi gandum bakal seret. Belum lagi kalau Rusia dihukum sanksi larangan ekspor, pasokan gandum ke pasar dunia akan semakin sedikit. Makanya harga langsung melejit.

Halaman Selanjutnya --> Harga Sembako Beterbangan Karena Perang

Bagi mereka yang berduit, perang bisa menjadi kesempatan untuk semakin kaya. Taruh saja uang di pasar komoditas, jual-beli, nikmatilah keuntungan yang luar biasa.

Misalnya, mereka yang berinvestasi di kontrak batu bara sebulan lalu sekarang uangnya bertambah 52,17%. Kemudian yang menempatkan dana di kontrak gandum kekayaannya bertambah 62,93%.

Namun bagi yang miskin, yang tidak punya kesempatan mengakses pasar keuangan, yang ada hanya derita. Kenaikan harga komoditas cepat atau lambat akan menyebabkan harga kebutuhan pokok sehari-hari ikut naik.

Kenaikan harga gandum pada saatnya akan mempengaruhi harga produk turunannya, seperti mie dan roti. Ini adalah produk yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, termasuk kelompok miskin.

"Makanan pokok di Indonesia adalah nasi. Namun gandum dan kedelai juga banyak dikonsumsi karena menjadi bahan baku untuk makanan seperti mie, roti, dan tahu. Meski secara umum Rusia dan Ukraina tidak terlalu berkontribusi terhadap perdagangan internasional, tetapi Ukraina menyumbang sekitar 26% dari impor gandum Indonesia," sebut Helmi Arman, Ekonom Citi, dalam risetnya.

imporSumber: Citi

Jadi saat harga gandum melonjak gara-gara konflik di Ukraina, maka jangan kaget kalau harga sejumlah kebutuhan pokok bakal ikut naik. Dalam beberapa waktu ke depan, mungkin harga mie, roti, dan sereal akan terkerek.

"Kami memperkirakan harga roti, sereal, dan mie instan akan naik, atau setidaknya ukurannya bakal menyusut seperti tahu dan tempe saat harga kedelai naik. Tahun lalu, Indonesia mengimpor gandum senilai US$ 946 juta dari Ukraina, porsi terbesar dari keseluruhan impor HS10 yang sebesar US$ 3 miliar," papar Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, dalam risetnya.

Kalau ini benar-benar terjadi, maka dampaknya juga akan dirasakan oleh penduduk miskin di Tanah Air. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, mie instan adalah salah satu komoditas pangan yang banyak dikonsumsi oleh rakyat miskin.

Pada September 2021, mie instan menyumbang 2,56% dari garis kemiskinan di perkotaan sedangkan di perdesaan kontribusinya 2,29%. Sementara kontribusi roti terhadap garis kemiskinan di perkotaan adalah 1,76% dan di perdesaan 1,7%.

miskinSumber: BPS
miskin

"Oleh karena itu, dampak inflasi akibat perang tidak bisa dikesampingkan. Produk gandum dan kedelai, bersama minyak goreng, menyumbang 3-4% terhadap Indeks Harga Konsumen. Ini hampir sama dengan beras. Jadi kenaikan harga produk-produk tersebut bisa menaikkan inflasi Indonesia lebih dari 0,04 poin persentase," lanjut Helmi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular