Warga RI Berdoalah Perang Kelar Atau Siap-Siap Harga BBM Naik

Wilda Asmarini, CNBC Indonesia
07 March 2022 14:45
Catat! Kenaikan Harga 3 BBM pertamina, Ini Daftar Terbarunya
Foto: Infografis/Catat! Kenaikan Harga 3 BBM pertamina, Ini Daftar Terbarunya/Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang Rusia-Ukraina semakin memanas. Kondisi ini bahkan membuat sejumlah negara Barat terus meluncurkan sanksi terhadap Rusia. Terbaru, ada kemungkinan Amerika Serikat untuk melarang impor minyak dari Rusia.

Kondisi ini tak ayal memicu harga minyak mentah dunia semakin meroket. Pada perdagangan Senin, (7/3/2022) pagi, minyak mentah jenis Brent meroket hingga nyaris menembus US$ 140 per barel, tepatnya US$ 139,13 per barel, melesat lebih dari 17%, melansir data Refinitiv.

Level tersebut merupakan yang tertinggi dalam 13 tahun terakhir sejak 15 Juli 2008. Brent juga sudah tidak jauh dari rekor tertingginya di US$ 147,5 per barel yang dicapai pada 11 Juli 2008 lalu.

Minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) juga melesat ke US$ 130,5 per barel yang juga berada di level tertinggi sejak Juli 2008.

Harga minyak tersebut sudah mencapai lebih dari dua kali lipat dari asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ ICP) pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 sebesar US$ 63 per barel.

Bahkan, JPMorgan sempat menyebut harga minyak bisa menembus level US$ 185 per barel pada akhir tahun ini bila perang terus berkepanjangan dan tak kunjung berakhir.

Bila ini terjadi, tentunya Indonesia juga akan turut terkena imbasnya karena merupakan negara pengimpor minyak (net importir). Indonesia saat ini masih bergantung pada impor untuk penyediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG).

Dari kebutuhan minyak dalam negeri sekitar 1,4 juta barel per hari (bph), Indonesia hanya mampu mengolah minyak mentah sekitar 800 ribu barel per hari (bph). Namun, produksi minyak mentah dalam negeri sendiri masih kurang dari kapasitas kilang pengolahan minyak tersebut, yakni hanya sekitar 660 ribu bph pada 2021. Artinya, Indonesia mengimpor lebih dari separuh dari kebutuhan minyak di dalam negeri.

Sejumlah pengamat energi berpandangan, bila kondisi ini terus terjadi dan berkepanjangan, maka kenaikan harga energi seperti Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG) menjadi takkan terelakkan.

Tumbur Parlindungan, praktisi migas, menilai kondisi harga minyak yang tinggi menyebabkan Indonesia harus mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan migas, baik LPG dan bahan bakar lainnya.

"Dengan harus mengimpor 800 ribu sampai 1 juta barrel per day ini akan memengaruhi trade balance Indonesia dan bila terjadi dalam waktu yang lama (> 6 bulan) akan memengaruhi nilai tukar mata uang rupiah dengan US dolar. Dampak lainnya akan meningkatkan inflasi di Indonesia karena meningkatnya harga bahan bakar akan memengaruhi biaya logistik ataupun biaya-biaya lainnya yang mendukung perekonomian seperti biaya produksi, distribusi dan lainnya," paparnya kepada CNBC Indonesia, Senin (07/03/2022).

Dia pun menilai, lonjakan harga minyak mentah dunia ini membuat kenaikan harga BBM non subsidi seperti bensin dengan nilai oktan 90 (RON 90) atau Pertalite dan Pertamax (RON 92) yang selama ini masih ditahan pemerintah dan Pertamina, tak akan terhindari.

Bila kenaikan harga ini tidak dilakukan, maka menurutnya Pertamina akan menanggung kerugian atau negara harus memberikan subsidi lebih besar yang tentunya akan semakin meningkatkan beban keuangan negara.

"Kenaikan Pertalite dan Pertamax tidak bisa dihindarkan.. Harus dinaikkan sesuai dengan market price.. Kalau tidak dinaikkan, Pertamina menanggung kerugian dan negara harus mensubsidi perbedaan harga tersebut. Ini akan sangat membebani keuangan negara bila tidak dilakukan adjustment dengan harga pasar," jelasnya.

Dengan tak terhindarkannya kenaikan harga BBM akibat lonjakan harga minyak dunia ini, maka menurutnya yang perlu dilakukan pemerintah adalah memitigasi langkah mengurangi dampak tidak langsung terhadap kenaikan harga bahan bakar.

"Yang perlu diwaspadai adalah indirect impact dari meningkatnya harga bahan bakar ini dan dicarikan mitigasi untuk mengurangi indirect impact-nya, terutama untuk sektor-sektor perekonomian yang memengaruhi hajat hidup orang banyak," tuturnya.

Menurutnya, meski peningkatan pendapatan di hulu migas juga akan naik signifikan karena kenaikan harga minyak mentah dunia ini, namun dengan kondisi produksi migas di Tanah Air yang semakin menurun, lonjakan pendapatan di hulu masih tidak akan bisa menutupi biaya di sisi hilir.

"Karena produksi migas Indonesia yang terus menurun dan kita akan meningkatkan impor migas dengan semakin membaiknya pertumbuhan ekonomi (post Covid pandemic), peningkatan pendapatan dari hulu dan pajak migas masih sangat kurang untuk mengantisipasi dampak lonjakan harga energi," jelasnya.

Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro. Dia pun menilai bahwa kenaikan pendapatan di hulu migas masih belum akan menutupi kekurangan biaya di hilir. Porsi impor yang sudah lebih besar dibandingkan produksi minyak di dalam negeri menjadi salah satu pemicunya.

Seperti diketahui, berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), realisasi produksi minyak terangkut (lifting) pada 2021 hanya sebesar 660 ribu barel per hari (bph), lebih rendah dari target 705 ribu bph. Sementara realisasi lifting gas pada 2021 sebesar 5.501 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), lebih rendah dari target 5.638 MMSCFD.

Sementara tahun 2022 ini, lifting minyak ditargetkan mencapai 703 ribu bph dan gas 5.800 MMSCFD. Perlu diketahui, dari lifting minyak tersebut, ada yang diekspor karena merupakan karena bagian dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) atau produsen minyak.

"Saya kira kenaikan pendapatan di hulu sudah tidak dapat menutup biaya di hilir. Porsi impor saat ini sudah lebih besar dibanding produksi dalam negeri," tuturnya kepada CNBC Indonesia, Senin (07/03/2022), sambil menambahkan bahwa kondisi ini artinya membuat kenaikan harga BBM Pertalite dan Pertamax tak akan terhindarkan lagi.

Menurutnya, kenaikan harga BBM di masyarakat ini tak akan terhindarkan karena bagaimana pun APBN negara sudah banyak terserap untuk penanganan pandemi Covid-19.

"Perlu ada distribusi beban termasuk pada konsumen. Kita sama-sama tahu bahwa anggaran APBN saat ini sudah banyak terserap untuk penanganan pandemi," tuturnya.

Meski sebentar lagi, yakni pada awal April akan memasuki bulan Ramadan dan juga pada awal Mei ada Hari Raya Idul Fitri, namun menurutnya bila harga minyak dunia ini terus melonjak, maka memang tidak ada waktu yang ideal untuk menaikkan harga BBM karena dipicu kondisi darurat.

"Kondisinya darurat. Tidak ada yang ideal dan tepat (untuk menaikkan harga BBM). Saya kira ukurannya sejauh mana kapasitas fiskal masih bisa bertahan," tuturnya.

Kenaikan harga ini menurutnya terutama sangat mendesak untuk produk non subsidi, seperti bensin Pertalite dan Pertamax yang hingga kini masih ditahan harganya.

Seperti diketahui, pada 3 Maret 2022 Pertamina resmi menaikkan harga tiga produk BBM non subsidi, yakni bensin Pertamax Turbo (RON 98), Dexlite (Cetane Number/CN 51), dan Pertamina DEX (CN 53).

Ini merupakan kenaikan harga BBM non subsidi Pertamina untuk kali kedua di tahun 2022 ini. Sebelumnya, Pertamina juga menaikkan harga ketiga jenis produk BBM non subsidi tersebut pada 12 Februari 2022 lalu.

Adapun kenaikan harga jual ketiga jenis BBM Pertamina per 3 Maret 2022 ini di kisaran Rp 500 - Rp 1.000 per liter.

Namun, Pertamina masih mempertahankan harga bensin Pertalite dan Pertamax masing-masing pada harga Rp 7.650 per liter dan Rp 9.000 per liter. Harga kedua bensin ini tidak berubah sejak 2019 sebelum adanya pandemi Covid-19.

Selain Pertamina, Shell Indonesia dan BP-AKR juga telah menaikkan harga BBM pada 1 Maret 2022, setelah Februari lalu juga telah menaikkan harga.

Lonjakan harga minyak mentah dunia juga memicu kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP). Pada Februari 2022 saja ICP sudah melonjak menjadi US$ 95,72 per barel, naik US$ 9,83 per barel dari US$ 85,89 per barel dari rata-rata ICP pada Januari 2022. Ini artinya, sudah jauh lebih tinggi dari asumsi ICP dalam APBN 2022 yang ditetapkan sebesar US$ 63 per barel.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, kenaikan ICP menyebabkan harga keekonomian BBM meningkat, sehingga menambah beban subsidi BBM dan LPG, serta kompensasi BBM (atas penjualan BBM non subsidi) dalam APBN.

Setiap kenaikan US$ 1 per barel berdampak pada kenaikan subsidi BBM dan LPG sekitar Rp 4,17 triliun, terdiri dari kenaikan subsidi LPG sekitar Rp 1,47 triliun, subsidi minyak tanah sekitar Rp 49 miliar, dan beban kompensasi BBM lebih dari Rp 2,65 triliun.

Sebagaimana diketahui, subsidi BBM dan LPG 3 kg dalam APBN 2022 sebesar Rp 77,5 triliun. Subsidi tersebut pada saat ICP sebesar US$ 63 per barel.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular