
Batu Bara-Minyak Melejit, Begini Imbasnya ke Biaya Listrik RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Lonjakan harga komoditas energi, mulai dari minyak, gas, hingga batu bara tak terhindarkan dan bahkan semakin membubung sejak serangan Rusia ke Ukraina 24 Februari 2022 lalu.
Harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) pada perdagangan akhir pekan lalu misalnya, ditutup pada level US$ 407,05 per ton, melonjak 13,56% dibandingkan sehari sebelumnya. Selama pekan lalu, harga batu bara membukukan kenaikan 61,85% secara point-to-point. Ini adalah rekor tertinggi kenaikan mingguan setidaknya sejak 2008.
Lonjakan harga batu bara sebelumnya terjadi seiring harga gas alam yang juga melejit. Pada perdagangan akhir pekan, harga gas alam di Henry Hub (Oklahoma, Amerika Serikat/AS) ditutup di US$ 4,91/MMBtu. Melonjak 4,07% dari hari sebelumnya.
Dalam seminggu terakhir, harga gas naik 9,93%. Selama sebulan ke belakang, harga menanjak 17,06%.
Begitu juga dengan harga minyak mentah dunia. Tak tanggung-tanggung, pada perdagangan Senin, (7/3/2022) pagi, minyak mentah jenis Brent meroket hingga nyaris menembus US$ 140 per barel, tepatnya US$ 139,13/barel, melesat lebih dari 17%, melansir data Refinitiv.
Level tersebut merupakan yang tertinggi dalam 13 tahun terakhir sejak 15 Juli 2008. Brent juga sudah tidak jauh dari rekor tertingginya di US$ 147,5 per barel yang dicapai pada 11 Juli 2008 lalu.
Minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) juga melesat ke US$ 130,5 per barel yang juga berada di level tertinggi sejak Juli 2008.
Dari sisi harga minyak, ini bahkan sudah lebih dua kali lipat dibandingkan asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ ICP) pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 yang ditetapkan sebesar US$ 63 per barel.
Lantas, bagaimana dampaknya lonjakan harga komoditas energi terhadap Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik nasional?
EVP Batu Bara PT PLN (Persero) Sapto Aji Nugroho mengatakan, dari sisi biaya penyediaan listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara hingga saat ini masih belum berdampak karena harga batu bara untuk kepentingan dalam negeri (Domestic Market Obligation/ DMO) khususnya untuk pembangkit listrik masih dibatasi pada harga maksimal US$ 70 per ton.
Adanya lonjakan harga batu bara di pasar internasional, menurutnya sampai saat ini tidak berdampak pada kenaikan harga batu bara PLN, serta BPP listrik PLN.
"Thanks to pemerintah, baik volume dan harga (batu bara), ke Minerba dan DPR, yang mempertahankan cap (batasan) US$ 70 per ton melalui HBA (Harga Batu Bara Acuan)," tuturnya dalam program Energy Corner Squawk Box CNBC Indonesia, Senin (07/03/2022).
Begitu juga dengan harga gas, menurutnya dengan dipatoknya harga gas US$ 6 per MMBTU untuk pembangkit listrik di dalam negeri membuat BPP listrik tidak terdampak dari lonjakan harga di pasar internasional.
Namun demikian, dia mengakui ini berdampak pada biaya pokok penyediaan listrik untuk Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) berbasis Bahan Bakar Minyak (BBM) di mana harganya berfluktuasi mengikuti harga pasar.
"Untuk gas, berdasarkan aturan Permen (Peraturan Menteri) ESDM, ada cap terkait harga gas. Jadi, untuk gas aman tidak terpengaruh fluktuasi dunia. Untuk BBM, kita terpengaruh, karena harganya berfluktuasi," tuturnya.
Tapi dia menegaskan, pemakaian BBM di bauran energi pembangkit listrik PLN saat ini sudah tinggal sedikit, yakni hanya 3,6% dari total bauran energi PLN. Artinya, meski ada kenaikan biaya dari lonjakan harga minyak, namun secara keseluruhan ini tidak berdampak signifikan pada biaya produksi listrik PLN.
"Energy mix untuk penggunaan BBM sangat kecil hanya 3,6% dari total energy mix yang dikelola PLN, dampaknya nggak signifikan memengaruhi biaya dari produksi listrik PLN," ungkapnya.
"Karena dominan di batu bara, gas dan BBM hanya 3,6% dan berdampak nggak signifikan untuk biaya operasional PLN karena porsi energy mix untuk BBM kecil dan harga batu bara ada cap US$ 70 (per ton) dan harga gas diatur pemerintah. Ada kenaikan dampak dari BBM, tapi nggak signifikan," paparnya.
"Dampak ke kenaikan BPP bahwa kita untuk batu bara tidak terpengaruh dari eksternal, begitu juga gas. Yang terpengaruh dari BBM, tapi energy mix BBM kita kecil, jadi masih manageable ke energi primer, ke BPP kami," tandasnya.
Perlu diketahui, biaya pembangkitan rata-rata dari penggunaan BBM merupakan terbesar di antara sumber energi lainnya untuk setiap rupiah per kilo Watt hour (kWh).
Berdasarkan Statistik PLN 2020, biaya pembangkitan rata-rata PLTD pada 2020 tercatat mencapai Rp 4.746,32 per kWh, jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) sebesar Rp 1.611,79 per kWh dan PLTGU Rp 1.322,23 per kWh. Bahkan, bila dibandingkan dengan sumber energi baru terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), biaya pembangkitan rata-rata PLTP juga masih lebih murah yakni Rp 1.107,89 per kWh.
Sementara biaya pembangkitan rata-rata PLTU berbasis batu bara yakni "hanya" Rp 636,55 per kWh. Untuk biaya pembangkitan paling murah yakni pada Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang mencapai Rp 438,57 per kWh.
Adapun rata-rata biaya pembangkitan listrik PLN pada 2020 mencapai Rp 3.097,30 per kWh.
Sementara untuk tarif listrik pelanggan non subsidi atau tariff adjustment untuk tegangan rendah saat ini masih dipatok Rp 1.444,70 per kWh. Ini tarif terbaru per Oktober 2020 di mana pemerintah menurunkan Rp 22,5 per kWh, setelah sejak 2017 tidak mengalami perubahan kenaikan/ penurunan.
Pada 2020, kapasitas terpasang PLTU PLN mencapai 20.277,63 Mega Watt (MW), atau sekitar 46% dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik PLN yang mencapai 44.174,79 MW.
Adapun total kapasitas terpasang nasional, termasuk pembangkit sewa dan pembangkit milik pengembang listrik swasta (IPP) pada 2020 yakni mencapai 63.336,12 MW.
Hingga November 2021, total kapasitas pembangkit listrik nasional tercatat mencapai 73.736 MW, berdasarkan data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Adapun bauran batu bara pada pembangkit listrik nasional hingga November 2021 mencapai 65,93%, gas 17,48%, BBM 3,86%, air 6,78%, panas bumi 5,54%, biomassa 0.22%, dan energi baru terbarukan (EBT) lainnya 0,19%.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tarif Listrik Bakal Naik Gegara Minyak Melejit? Ini Kata PLN
