
Warga RI Berdoalah Perang Kelar Atau Siap-Siap Harga BBM Naik

Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro. Dia pun menilai bahwa kenaikan pendapatan di hulu migas masih belum akan menutupi kekurangan biaya di hilir. Porsi impor yang sudah lebih besar dibandingkan produksi minyak di dalam negeri menjadi salah satu pemicunya.
Seperti diketahui, berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), realisasi produksi minyak terangkut (lifting) pada 2021 hanya sebesar 660 ribu barel per hari (bph), lebih rendah dari target 705 ribu bph. Sementara realisasi lifting gas pada 2021 sebesar 5.501 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), lebih rendah dari target 5.638 MMSCFD.
Sementara tahun 2022 ini, lifting minyak ditargetkan mencapai 703 ribu bph dan gas 5.800 MMSCFD. Perlu diketahui, dari lifting minyak tersebut, ada yang diekspor karena merupakan karena bagian dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) atau produsen minyak.
"Saya kira kenaikan pendapatan di hulu sudah tidak dapat menutup biaya di hilir. Porsi impor saat ini sudah lebih besar dibanding produksi dalam negeri," tuturnya kepada CNBC Indonesia, Senin (07/03/2022), sambil menambahkan bahwa kondisi ini artinya membuat kenaikan harga BBM Pertalite dan Pertamax tak akan terhindarkan lagi.
Menurutnya, kenaikan harga BBM di masyarakat ini tak akan terhindarkan karena bagaimana pun APBN negara sudah banyak terserap untuk penanganan pandemi Covid-19.
"Perlu ada distribusi beban termasuk pada konsumen. Kita sama-sama tahu bahwa anggaran APBN saat ini sudah banyak terserap untuk penanganan pandemi," tuturnya.
Meski sebentar lagi, yakni pada awal April akan memasuki bulan Ramadan dan juga pada awal Mei ada Hari Raya Idul Fitri, namun menurutnya bila harga minyak dunia ini terus melonjak, maka memang tidak ada waktu yang ideal untuk menaikkan harga BBM karena dipicu kondisi darurat.
"Kondisinya darurat. Tidak ada yang ideal dan tepat (untuk menaikkan harga BBM). Saya kira ukurannya sejauh mana kapasitas fiskal masih bisa bertahan," tuturnya.
Kenaikan harga ini menurutnya terutama sangat mendesak untuk produk non subsidi, seperti bensin Pertalite dan Pertamax yang hingga kini masih ditahan harganya.
Seperti diketahui, pada 3 Maret 2022 Pertamina resmi menaikkan harga tiga produk BBM non subsidi, yakni bensin Pertamax Turbo (RON 98), Dexlite (Cetane Number/CN 51), dan Pertamina DEX (CN 53).
Ini merupakan kenaikan harga BBM non subsidi Pertamina untuk kali kedua di tahun 2022 ini. Sebelumnya, Pertamina juga menaikkan harga ketiga jenis produk BBM non subsidi tersebut pada 12 Februari 2022 lalu.
Adapun kenaikan harga jual ketiga jenis BBM Pertamina per 3 Maret 2022 ini di kisaran Rp 500 - Rp 1.000 per liter.
Namun, Pertamina masih mempertahankan harga bensin Pertalite dan Pertamax masing-masing pada harga Rp 7.650 per liter dan Rp 9.000 per liter. Harga kedua bensin ini tidak berubah sejak 2019 sebelum adanya pandemi Covid-19.
Selain Pertamina, Shell Indonesia dan BP-AKR juga telah menaikkan harga BBM pada 1 Maret 2022, setelah Februari lalu juga telah menaikkan harga.
Lonjakan harga minyak mentah dunia juga memicu kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP). Pada Februari 2022 saja ICP sudah melonjak menjadi US$ 95,72 per barel, naik US$ 9,83 per barel dari US$ 85,89 per barel dari rata-rata ICP pada Januari 2022. Ini artinya, sudah jauh lebih tinggi dari asumsi ICP dalam APBN 2022 yang ditetapkan sebesar US$ 63 per barel.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, kenaikan ICP menyebabkan harga keekonomian BBM meningkat, sehingga menambah beban subsidi BBM dan LPG, serta kompensasi BBM (atas penjualan BBM non subsidi) dalam APBN.
Setiap kenaikan US$ 1 per barel berdampak pada kenaikan subsidi BBM dan LPG sekitar Rp 4,17 triliun, terdiri dari kenaikan subsidi LPG sekitar Rp 1,47 triliun, subsidi minyak tanah sekitar Rp 49 miliar, dan beban kompensasi BBM lebih dari Rp 2,65 triliun.
Sebagaimana diketahui, subsidi BBM dan LPG 3 kg dalam APBN 2022 sebesar Rp 77,5 triliun. Subsidi tersebut pada saat ICP sebesar US$ 63 per barel.
[Gambas:Video CNBC]
