Penyebab Harga Daging Rp 130 Ribu Lebih: RI 'Kecanduan' Impor

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
07 March 2022 11:30
Penjual daging sapi di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Rabu (23/2/2022). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Penjual daging sapi di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Rabu (23/2/2022). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kenaikan harga daging sapi menjadi perbincangan akhir-akhir ini. Peningkatan permintaan yang tidak mampu diimbangi produksi membuat harga bergerak ke utara alias naik.

Mengutip catatan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), rata-rata harga daging sapi kualitas I di pasar tradisional pada 4 Maret 2022 adalah Rp 130.650/kg. Naik 3,8% dibandingkan sehari sebelumnya dan menyentuh titik tertinggi sejak 17 Mei tahun lalu.

Bank Indonesia (BI) melalui Survei Pemantauan Harga (SPH) pekan I memperkirakan inflasi Maret 2022 adalah 0,32% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Jauh lebih tinggi ketimbang Februari yang deflasi 0,02%.

"Penyumbang utama inflasi Maret 2022 sampai dengan minggu I yaitu komoditas cabai merah, cabai rawit, tempe, bawang merah, emas perhiasan, daging ayam ras, tahu mentah, telur ayam ras, sabun detergen bubuk/cair, bahan bakar rumah tangga, dan rokok kretek filter. Sementara itu, komoditas yang mengalami deflasi adalah minyak goreng," tulis keterangan resmi BI.

Berdasarkan catatan PIHPS, harga cabai rawit merah pada 4 Maret 2022 mencapai Rp 70.250/kg. Dalam sebulan terakhir, harga cabai rawit merah melonjak Rp 20.600 (41,49%). Wow...

Sementara harga bawang merah ukuran sedang per 4 Maret 2022 adalah Rp 37.300/kg. Naik Rp 4.450 (13,97%) selama sebulan.

Halaman Selanjutnya --> Produksi Daging Nasional Tidak Memadai

Khusus daging sapi, kenaikan harga memang tidak bisa terhindarkan. Pasalnya, produksi Indonesia tidak (atau belum, siapa yang tahu) mencukupi permintaan.

Kementerian Pertanian dalam dokumen Outlook Daging Sapi mengungkapkan konsumsi daging sapi pada 2020 adalah 2,31 kg/kapita/tahun. Dikalikan jumlah penduduk 269,6 juta orang, maka kebutuhan nasional sekitar 623,42 ribu ton.

Sedangkan hasil perhitungan produksi daging pada 2020 adalah 422,53 ribu ton. Terdiri dari sapi potong 402,22 ribu ton serta sapi perah dan kerbau 20,31 ribu ton. Selisih antara produksi daging dikurangi kebutuhan nasional ada defisit 201,11 ribu ton.

Pada 2021, diperkirakan proyeksi kebutuhan daging nasional adalah 685,85 ribu ton sehingga masih terjadi defisit 260,03 ribu ton. Kondisi defisit ini diperkirakan akan terus meningkat, sehingga pada 2022 defisit daging sapi naik menjadi 261,08 ribu ton. Kemudian pada 2023 dan 2024 defisitnya masing-masing adalah 261,67 ribu ton dan 268,36 ribu ton.

"Masih terjadinya defisit daging karena masih terbatasnya populasi sapi dalam negeri. Dari sisi teknologi produksi daging sapi, Indonesia juga masih dihadapkan produksi ternak, penggunaan teknologi yang kurang memadai dan merata.

"Masalah lain adalah dari sisi kelembagaan produksi maupun distribusinya. Kelembagaan produksi selama ini misalnya kurang membuat peternak mandiri, terutama dalam penyediaan bibit, sarana dan prasarana, maupun input produksi lainnya. Sementara kelembagaan distribusi, terutama tata niaga yang menghubungkan produsen dan konsumen belum efisien. Struktur pasar pun ditengarai hanya dikuasai segelintir orang atau kelompok (oligopoli)," ungkap laporan Kementerian Pertanian.

Halaman Selanjutnya --> Impor Tinggi, Rupiah Lemah

Produksi dalam negeri yang belum memadai membuat Indonesia harus mendatangkan daging dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan nasional. Sepanjang 2021, impor daging dan jeroan Indonesia adalah 276,76 juta ton. Naik 22,676% dibandingkan 2020.

Masalahnya, harga daging sapi internasional sedang mahal. Di pasar Contract for Difference (CFD), harga daging sapi per 4 Maret 2022 adalah BRL 21,81/kg. Dalam sebulan terakhir, harga naik 1,73% dan selama setahun ke belakang melesat 12,48%.

Belum lagi ada tren depresiasi rupiah. Dalam sebulan terakhir, rupiah melemah 0,1% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) secara point-to-point. Selama setahun ke belakang, depresiasi mata uang Nusantara adalah 0,42%.

Tingginya permintaan, minimnya produksi dalam negeri, peningkatan impor, dan pelemahan nilai tukar rupiah menjadi sebuah badai yang sempurna. Perfect storm. Jadi jangan heran kalau harga daging 'terbang'.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular