Kondisi Rusia-Ukraina Makin Panas, Risiko Besar Ini Intai RI

Pratama Guitarra, CNBC Indonesia
Selasa, 22/02/2022 09:30 WIB
Foto: Tank tentara Rusia dimuat ke kereta api pengangkut untuk kembali ke pangkalan permanen mereka setelah latihan di Rusia, Rabu (16/2/2022). (Russian Defense Ministry Press Service via AP)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ancaman terjadinya perang antara Rusia dan Ukraina makin berhembus kencang. Pada Senin (21/2/2) Presiden Rusia Vladimir Putin disebut menandatangani sebuah dekrit, yang tak hanya mengakui dua wilayah yang hendak memisahkan diri dari Ukraina sebagai negara, ia juga memerintahkan angkatan bersenjata Rusia masuk ke wilayah-wilayah tersebut.

Presiden Putin diklaim akan memobilisasi pasukan dengan dalih "fungsi penjaga perdamaian". Kedua wilayah yang ia akui kemerdekaannya berada di Ukraina Timur, yakni Republik Rakyat Donetsk (DPR) dan Republik Rakyat Lugansk (LPR), yang sudah sejak lama memang didukung Rusia.

Hal ini diketahui dari seorang pejabat senior Amerika Serikat atas informasi intelijen. Pasukan Rusia diyakini akan bergerak ke Donbas, salah satu wilayah konflik yang ingin memisahkan diri, paling lama Selasa ini.


Terus memanasnya tensi kedua negara yang melibatkan Amerika Serikat (AS), Eropa, dan NATO itu berdampak langsung kepada harga komoditas, termasuk salah satunya adalah harga minyak mentah dunia. Minyak mentah Brent pada perdagangan pagi ini pukul 09.07 WIB, melesat menyentuh US$ 97,16 per barel.

Sedangkan jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) harganya melesat menjadi US$ 94,00 per barel.

Kondisi ini tentunya merugikan banyak pihak, termasuk Indonesia. Terlebih, Indonesia merupakan negara net importir minyak dan Liquefied Petroleum Gas (LPG).

Pengamat perminyakan yang juga mantan Gubernur Indonesia untuk Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) Widhyawan Prawiraatmadja mengatakan, panasnya situasi geopolitik di negeri Barat ini, terutama kencangnya kabar invasi Rusia ke Ukraina ini sudah tentu berdampak tidak bagus bagi Indonesia.

Menurutnya, ini akan berdampak pada kian melesatnya harga minyak dunia dan Indonesia sebagai negara net importir minyak akan mengalami lonjakan biaya pengadaan minyak.

Dia membeberkan, kondisi geopolitik ini akan berpengaruh secara global dan nasional dan bukan hanya secara fundamental, tapi juga psikologis (non teknis).

Secara fundamental, menurutnya ini akan ada dampak langsung untuk sumber produksi minyak dan gas (migas) di tempat yang bertikai, bukan saja karena keamanan, tapi juga masalah rantai pasok yang pasti terkendala dan membutuhkan asuransi yang lebih tinggi.

"Hal ini secara berantai akan berpengaruh ke lokasi lain (domino effect). Ujung-ujungnya harga menjadi tinggi, dan biaya pengadaan minyak kita akan semakin besar. Jika harga domestik disesuaikan ada ancaman inflasi, jika tidak disesuaikan subsidi akan melonjak. Dampaknya bagi Indonesia jelas tidak bagus, jadi sebaiknya kita berdoa jangan sampai perang ini terjadi," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (15/02/2022).

Di sisi lain, lanjutnya, stok BBM RI juga masih minim, hanya cukup untuk sekitar 20 hari. Bila rantai pasok dari luar negeri terganggu, tentunya ini juga berisiko bagi Indonesia.

"Risikonya besar buat kita," imbuhnya.


(pgr/pgr)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Ini Dia Sumber Uang hingga Target Bisnis Koperasi Merah Putih

Pages