Nilai Ekspor Batu Bara Rp 500 T, Hanya Dinikmati Perusahaan?
Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom Senior Faisal Basri mengusulkan supaya penjualan batu bara ekspor dikenakan pajak atau windfall tax. Sebab, dari catatannya, sesuai dengan Kode HS 72 (batu bara) saat ini nilai ekspor batu bara tercatat mencapai Rp 500 triliun atau setara US$ 33 miliar dan hanya dinikmati oleh perusahaan.
Faisal Basri menyebutkan bahwa kontribusi perusahaan pertambangan batu bara hanya melalui royalti, yang mana royalti tersebut pun hasilnya dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Sejatinya, kata Faisal, negara memiliki otoritas untuk mengambil sebagian dari windfall tax yang dinikmati industri batu bara, yang saat ini harganya tengah mengalami kenaikan sangat tinggi.
"Jadi negara harusnya punya kuasa, sebagaimana diterapkan di CPO, yang ada windfall yang dinikmati eksportir dikenakan pajak ekspor dan juga bea CPO untuk misalnya stabilisasi harga minyak goreng, untuk replanting petani sawit walaupun dapatnya sedikit. Tapi prinsip dasarnya ada fungsi re-distribusi yang didapatkan oleh negara , untuk dinikmati oleh rakyat secara keseluruhan," terang Faisal Basri kepada CNBC Indonesia, Jumat (11/2/2022).
Tanpa adanya pajak atau windfall tax untuk batu bara, nilai ekspor batu bara saat ini dinikmati sepenuhnya oleh perusahaan batu bara. Ia mencatat seusai dengan Kode HS 72 (batu bara) penerimaan ekspor batu bara nyaris Rp 500 triliun atau US$ 33 miliar.
"Katakanlah kalau kita lihat di kode HS 72. Batu bara itu penerimaan ekspornya nyaris 500 triliun US$ 33 miliar. Dinikmati oleh sepenuhnya oleh pengusaha batubara tanpa sebagian kecil sekalipun diambil windfall-nya diambil oleh negara," ungkap Faisal Basri.
Oleh karena itu, dengan adanya pajak ekspor batu bara itu, ia membayangkan pemerintah dan pengusaha akan bahagia. Redistribusi dan juga bea batu bara bisa digunakan untuk membiayai Renewable Energy atau transisi energi yang sedang digalakkan oleh pemerintah untuk mencapai netral karbon atau net zero emission di tahun 2060.
"Nah batu bara tidak perlu lagi dikenakan DMO dan macam macam, karena nanti uang yang diambil pemerintah bisa membiayai PT PLN (Persero) kalau pemerintah tidak ingin tarif listrik turun. Intinya kepastian untuk industri batu bara tidak serta merta dilarang ekspor, itu ngaco juga menurut saya," tandas Faisal Basri.
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menanggapi bahwa, sebelumnya pada tahun 2006 atau pada saat Sri Mulyani menjabat sebagai Menteri Keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pernah juga ditetapkan pajak ekspor batu bara sebesar 10%.
Namun pada saat itu, ada pertimbangan mengenai pajak ekspor batu bara sehingga diuji materikan di Mahkamah Konstitusi. Adapun MK menetapkan bahwa pajak ekspor bertentangan dengan Undang-Undang.
"Saya tidak tahu apakah pemerintah ingin menerapkan lagi, kami serahkan saja ke pemerintah yang mengambil kebijakan tapi kami punya hak untuk itu (menolak," tandas Hendra kepada CNBC Indonesia.
(pgr/pgr)