Jakarta, CNBC Indonesia - Ketegangan antara negara-negara Eropa blok NATO dan Rusia masih semakin panas. Ini terkait dengan konflik Ukraina yang juga menyeret Amerika Serikat (AS).
Namun, sebenarnya Rusia memiliki "senjata rahasia". Senjata ini dapat melumpuhkan kegiatan Eropa dan membuat benua itu berada dalam sebuah krisis besar.
Senjata itu bukan bomber atau kapal perang nuklir melainkan gas alam, di mana Rusia merupakan salah satu eksportir besar sumber energi itu. Ini juga membuat Eropa "terbelah dua" karena ketergantungan dengan Moskow.
Pakar energi di Pusat Studi Strategis dan Internasional, Nikos Tsafos, mengatakan bahwa bila pasokan gas dari Rusia ke Eropa dihambat, hal itu akan menjadi 'bencana besar'. Ia menyebut benua itu akan mengalami krisis energi yang sangat fatal.
"Pemutusan total ekspor energi Rusia akan menjadi bencana besar. Tidak ada cara bagi Eropa untuk membatalkan volume tersebut dengan cara yang berarti," katanya dikutip CNN International, Rabu (2/2/2022).
Meskipun Eropa telah melakukan investasi besar dalam energi terbarukan seperti angin dan tenaga surya, tulis The New York Times, ternyata sumber pasokan konvensional masih dibutuhkan. Pembangkit listrik berbahan bakar gas adalah salah satu dari sedikit pilihan yang tersisa.
"Ini adalah semacam momen 'oh my God' di mana kawasan itu menyadari bahwa itu sangat bergantung pada gas Rusia," kata, kepala penelitian makro global di bank Belanda ING, Carsten Brzesk.
Halaman 2>>
Menurut data badan data Eurostat di tahun 2020, Rusia menyumbang sekitar 38% dari impor gas alam Uni Eropa. Negeri itu mengirimkan hampir 153 miliar meter kubik.
Kontribusi Negeri Beruang Putih semakin besar di Benua Biru semenjak produksi gas Belanda menurun akibat penutupan ladang gas. Belum lagi penutupan PLT Nuklir Prancis dan PLTU batu bara Jerman.
Saat ini Eropa masih menghadapi tekanan dari krisis energi akibat pasokan yang langka sehingga menyebabkan harga gas masih tinggi. Dampaknya biaya-biaya jadi mahal baik untuk rumah tangga maupun industri.
Inflasi Eropa pun meningkat menjadi 5% pada bulan Desember 2021 dari yang biasanya stabil di rentang 2-2,5%. Apalagi saat ini Eropa masih mengalami musim dingin.
Energi seperti gas jadi krusial di Benua Biru. Permintaan untuk penghangat akan melonjak sehingga jika pasokan gas dari Rusia terpotong, maka jadilah Eropa benar-benar menjadi biru karena membeku.
Pertengkaran kecil antara Rusia-Ukraina pada musim dingin 2008-2009 telah menghentikan aliran gas dan membuat sebagian Eropa kedinginan. Ini juga dikhawatirkan kembali terjadi di Eropa jika Rusia kembali "ngambek" dan tak ada jalan damai.
Sebenanrya tak hanya soal energi, lika pun ada sanksi ke Rusia, ini juga akan mengguncang keuangan Eropa. Terutama jika hukumannya menonaktifkan Rusia dari sistem pembayaran internasional.
Bank Sentral Eropa (ECB) memberi peringatan bagi pemberi pinjaman dengan eksposur signifikan ke Rusia untuk mempersiapkan diri mereka jika Rusia terkena sanksi. ECB menilai sanksi akan meningkatkan risiko yang cukup besar bagi bank-bank internasional dengan eksposur Rusia yang besar termasuk Citi di AS, Société Générale Prancis, Raiffeisen Austria, dan UniCredit Italia.
Bank-bank internasional memiliki sekitar US$ 121 miliar aset yang terutang oleh entitas yang berbasis di Rusia. Selain itu, ada US$ 128 miliar dalam bentuk pinjaman dan dana simpanan dari entitas Rusia ke bank asing, menurut Bank for International Settlements.
Risiko tambahan bagi bank-bank Eropa adalah bahwa konflik di Ukraina dapat memukul nilai mata uang rubel. Ini mengurangi valuasi yang dimiliki anak perusahaan mereka di Rusia.
Halaman 3>>
Meski NATO yang kebanyakan negara Eropa Barat mulai mengirimkan pasukan ke Ukraina, namun nampaknya Eropa "terpecah". Prancis misalnya mendorong diplomasi untuk mencegah konflik, tanpa melibatkan AS.
Ia berbicara dengan Putin, melalui telepon kedua kalinya dalam seminggu ini. Senin (31/1/2022), Kepresidenan Prancis mengatakan pembicaraan keduanya adalah bagian dari de-eskalasi konflik.
Bahkan, pertemuan tatap muka tidak dikesampingkan. Meskipun belum ada yang dijadwalkan hingga saat ini.
Kremlin juga mengatakan kedua pemimpin telah membahas Ukraina. Termasuk tuntutan Putin untuk jaminan keamanan yang akan mencakup penghentian mengikat secara perluasan pengaruh NATO ke Eropa timur.
Sebelumnya, di akhir Januari lalu, Prancis dan Jerman juga menginisiasi pembicaraan gencatan senjata antara Rusia dan Ukraina. Ini terkait konflik antara Ukraina dengan milisi pro Rusia di negara itu.
Kelompok Normandia, begitu kelompok ini disebut, menyebut ada "kemajuan positif" dalam pembicaraan. "Dialog akan terus dikejar," tegas Prancis.
Perlu diketahui, keberadaan kelompok pro Rusia di Ukraina juga terkait ambisi Moskow menjauhkan Kiev dari NATO. Sejak revolusi menggulingkan pro Rusia terjadi di Ukraina, Moskow menganggap kedekatan Barat dan Ukraina sebagai ancaman.
Sementara itu, anggota NATO lain, Hungaria juga turun tangan. PM Viktor Orban melakukan pembicaraan dengang Putin, Selasa.
Ia menegaskan perbedaan Rusia dan Barat masía bisa dijembatani. Kesepakatan damai bisa dimunculkan.
"Situasinya serius, perbedaannya substansial," kata Orban pada konferensi pers.
"Tetapi perbedaan posisi yang ada dapat dijembatani, dimungkinkan untuk membuat kesepakatan yang menjamin perdamaian dan keamanan Rusia dan itu juga dapat diterima oleh anggota NATO."
Orban sendiri memimpin Hungaria sejak 2010. Ia memang memiliki hubungan persahabatan dengan Putin yang membuat hubungannya memburuk dengan Uni Eropa (UE).