
Cek! Upaya RI Amankan Pasokan Energi Di Tengah Ancaman Global

Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi geopolitik yang memanas antara Rusia dan Ukraina dikhawatirkan memicu Perang Dunia ke-3. Hal ini dikhawatirkan pemerintah Indonesia, yang mana bisa memicu ketidakstabilan pasar global yang akan mempengaruhi harga komoditas khususnya energi.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha menegaskan, DEN dan pemerintah telah melakukan pemantauan terkait situasi tersebut. Di samping itu, DEN juga telah menyiapkan beberapa langkah antisipasi.
"Kebetulan kami sudah melaporkan kepada Presiden (Joko Widodo/Jokowi) mengenai green strategy energy nasional itu banyak sekali langkah yang harus dilakukan. Konversi BBM ke LPG, menggunakan jargas (Jaringan Gas), mendorong penggunaan mobil listrik," kata dia kepada CNBC Indonesia, Senin (31/1/2022).
Adapun kata dia, langkah tersebut bukan hanya untuk mengantisipasi kenaikan harga minyak di tengah ketegangan geopolitik dunia, melainkan untuk bagian dari target net zero emission pada 2060.
"Jadi pengalihan daripada BBM fossil itu merupakan skenario jangka panjang. Jadi yang harus dilakukan sekarang tidak hanya menunggu beberapa waktu yang lalu karena kita sudah, presiden sudah memutuskan net zero emission di tahun 2060," tegas Satya.
Satya Yudha tak menampik bahwa gangguan pasokan energi Indonesia terhadap dunia itu antarlain ketergantungan negara terhadap energi fosil. Indonesia saat ini masih melakukan kegiatan impor sebanyak 27% untuk produk Bahan Bakar Minyak (BBM). Kemudian, bensin 56% dan Liquifed Petroleum Gas (LPG) sebanyak 85%.
Dengan adanya permasalahan khususnya ketegangan antara Ukraina dan Rusia yang membuat ketidakstabilan harga komoditas global, Satya bilang, pemerintah perlu mencermati supaya apa yang terjadi dalam ketegangan geopolitik itu tidak berdampak ke domestik.
Dengan ketergantungan Indonesia kepada impor khususnya migas, kenaikan harga minyak dunia cukup menekan Indonesia. Ini berarti, penerimaan negara akan berkurang dengan adanya defisit tersebut. Yang tentunya akan memberikan dampak terhadap fakto belanja negara.
"Sehingga itu mempengaruhi faktor belanja karena perubahan satu asumsi makro itu berubah, misalnya kemarin US$ 63 per barel lantas itu naik misalkan ternyata sampai US$ 80 walaupun sekarang di angka US$ 91 tapi kita tidak tahu averagenya di dalam 2022," jelas Satya.
Jangankan kenaikan yang tinggi, kata Satya, peningkatan harga minyak yang hanya US$ 1 dolar per barel saja dapat menimbulkan defisit triliunan rupiah kepada Indonesia. "Sehingga kalau misalkan melesat sampai US$ 10 dollar itu berdampak pada defisit terhadap anggaran kita cukup besar," lanjut dia.
Maklum, kata Satya, harga minyak dunia terjadi day by day namun tetap harus menjadi perhatian oleh pemerintah. Sehingga, atas terjadinya masalah geopolitik Ukraina dan Rusia dan sulitnya dunia mencari cadangan migas baru bisa memberikan posisi terhadap Indonesia atas minyak dunia ini.
"Dalam rangka mempertahankan produksi kita, misalkan kita melakukan pemangkasan perizinan, peraturan yang menghambat investasi, itu juga perlu dilakukan supaya investasi di sektor migas ini tetap atraktif. Sehingga bisa memenuhi, atau paling tidak mengurangi daripada impor migas kita," ungkap Satya.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Gegara Kecanduan Impor, RI Kian Terpuruk Saat Minyak Meroket