Nyaris ke Bawah Rp 10.000, Kurs Dolar Australia Rebound

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
31 January 2022 10:20
Australian dollars are seen in an illustration photo February 8, 2018. REUTERS/Daniel Munoz
Foto: dollar Australia (REUTERS/Daniel Munoz)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Australia jeblok melawan rupiah pada pekan lalu hingga nyaris menembus ke bawah Rp 10.000/AU$. Tetapi pada awal perdagangan Senin (31/1) dolar Australia akhirnya rebound.

Melansir data dari Refintiv, sepanjang pekan lalu dolar Australia jeblok hingga 2,4%, bahkan sempat menyentuh Rp 10.020,59/AU$ pada Jumat lalu. Level tersebut merupakan yang terendah sejak Juli 2020.

Jebloknya dolar Australia dan melihat posisinya di level terendah satu setengah tahun tentunya memicu aksi short covering yang membuat nilainya naik hari ini. Pada pukul 9:47 WIB, AU$ setara Rp 10.099,42, dolar Australia menguat 0,5% di pasar spot.

Rupiah hari ini mendapat tekanan dari dalam negeri akibat kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) terus mengalami peningkatan.

Kemarin, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mengumumkan ada tambahan 12.422 kasus, menjadi yang tertinggi sejak 27 Agustus lalu.

Dari total kasus tersebut, DKI Jakarta masih mendominasi tambahan kasus konfirmasi harian dengan total 6.613.

Pelaku pasar kini menanti apakah status Pemberlakuan Pembatasan Kebijakan Masyarakat (PPKM) di DKI Jakarta akan diperketat atau tidak. Jika diperketat, tentunya akan memberikan tekanan bagi rupiah.

Sementara itu dolar Australia kini menanti pengumuman kebijakan moneter bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) Selasa besok. RBA diperkirakan akan mengindikasikan bisa menaikkan suku bunga di tahun ini, sebab inflasi sudah mencapai target.

Sebelumnya, RBA memberikan indikasi jika suku bunga tidak akan dinaikkan setidaknya hingga akhir 2023. Jika benar ada indikasi suku bunga akan dinaikkan di tahun ini, dolar Australia berpeluang naik lebih tinggi lagi.

Selasa pekan lalu Biro Statistik Australia melaporkan inflasi di kuartal IV-2021 tumbuh 1,3% dari kuartal sebelumnya. Sehingga inflasi selama setahun penuh menjadi 3,5% di 2021.

Kenaikan tajam harga perumahan serta bahan bakar minyak dikatakan menjadi pemicu utama kenaikan inflasi di tiga bulan terakhir tahun lalu.

Kemudian inflasi inti tumbuh 1% di kuartal IV-2021 dari kuartal sebelumnya. Sepanjang 2021, inflasi inti tumbuh sebesar 2,6% yang merupakan level tertinggi sejak 2014. Kenaikan inflasi inti tersebut lebih tinggi dari ekspektasi ekonomi sebesar 2,3%, dan mencapai target RBA sebesar 2% sampai 3%.

"Meski beberapa faktor yang membuat inflasi naik masih bersifat sementara, tetapi kami memperkirakan RBA akan lebih hawkish saat pengumuman kebijakan moneter pekan depan," kata Sean Langcake, ekonom senior di BIS Oxford Economics, sebagaimana dilansir The West, Selasa (25/1).

"Kenaikan suku bunga sebanyak satu kali di 2022 mungkin akan terjadi melihat data inflasi saat ini," tambahnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dolar Australia Tak Mampu Tembus Rp 10.700/AU$, Ada Apa?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular