Amerika Serikat dan China "Kompak" Beri Tekanan ke Rupiah!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
31 January 2022 09:16
Warga melintas di depan toko penukaran uang di Kawasan Blok M, Jakarta, Jumat (20/7). di tempat penukaran uang ini dollar ditransaksikan di Rp 14.550. Rupiah melemah 0,31% dibandingkan penutupan perdagangan kemarin. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin melemah. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah mencatat pelemahan melawan dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang pekan lalu, rupiah kembali masuk ke zona merah di awal perdagangan Senin (31/1). Tekanan bagi rupiah masih cukup besar dari dalam dan luar negeri. 

Melansir data dari Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah tipis 0,03% ke Rp 14.390/US$, dan bertahan di level tersebut hingga pukul 9:13 WIB. 

Dari dalam negeri, pelaku pasar saat ini menanti apakah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM ) di DKI Jakarta akan dinaikkan menjadi level 3 atau tetap level 2. Sebab, kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) terus mengalami peningkatan.

Kemarin, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mengumumkan ada tambahan 12.422 kasus, menjadi yang tertinggi sejak 27 Agustus lalu.

Dari total kasus tersebut, DKI Jakarta masih mendominasi tambahan kasus konfirmasi harian dengan total 6.613. Sehingga pelaku pasar was-was apakah PPKM di DKI Jakarta akan diperketat atau tidak.

Rupiah sepanjang pekan lalu melemah 0,35% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.385/US$. Dalam 5 hari perdagangan rupiah tidak pernah sekali pun menguat, rinciannya melemah 3 kali stagnan 2 kali.

Meski melemah, pergerakan rupiah tersebut terbilang cukup bagus jika melihat dolar AS yang sangat kuat setelah The Fed (bank sentral AS) menegaskan akan agresif menormalisasi kebijakan moneternya di tahun ini.

Inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) di Amerika Serikat yang semakin tinggi menguatkan kemungkinan The Fed akan agresif di tahun ini. Pada Jumat pekan lalu, inflasi PCE inti dilaporkan tumbuh 4,9% year-on-year (yoy) di bulan Desember, yang merupakan level tertinggi sejak September 1983.

Rilis tersebut semakin memperkuat posisi dolar AS, indeksnya sepanjang pekan lalu melesat 1,7% ke 97,270 yang merupakan level tertinggi sejak Juni 2020.
Kabar kurang bagus juga datang dari China. Aktivitas manufakturnya mengalami pelambatan di bulan Januari.

Aktivitas manufaktur yang dilihat dari purchasing manager index (PMI) berada di level 50,1, turun dari bulan Desember 2021 sebesar 50,3 berdasarkan data dari pemerintah China.

PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawahnya berarti kontraksi di atasnya artinya ekspansi.

Data PMI lain yang dirilis Markit/Caixin bahkan sudah menunjukkan kontraksi di 49,1 dari sebelumnya 50,9.

Rilis tersebut memberikan kekhawatiran jika perekonomian China berisiko melambat di tahun ini, yang tentunya akan berdampak ke Indonesia.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular