PLN di Tengah Transformasi & 'Bandul Berat' Yang Akan Dipikul

Pratama Guitarra, CNBC Indonesia
26 January 2022 11:50
PLN Kantor Pusat. (Dok: PLN)
Foto: PLN Kantor Pusat. (Dok: PLN)

Jakarta, CNBC Indonesia - PT PLN (Persero) sedang menjadi sorotan. Pasca krisisnya pasokan batu bara untuk pembangkit listrik miliknya. Akibat itu, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) punya ide untuk melakukan transformasi besar-besaran di tubuh perusahaan setrum pelat merah tersebut.

Pemerintah punya wacana dalam waktu dekat ini akan membentuk PLN sebagai holding yang hanya akan mengurus transmisi listrik dan sementara sub holdingnya adalah berisi sejumlah pembangkit-pembangkit listrik miliknya. PLN juga diminta untuk berbisnis di luar kelistrikan seperti kabel dan fiber optic-nya serta pengembangan WiFi untuk meningkatkan kualitas pelayanan dengan jasa dan produk layanan yang berbeda.

Wakil Menteri BUMN I, Pahala Mansury menargetkan, pembahasan mengenai pembentukan holding dan sub holding PLN itu bisa diselesaikan pada April 2022. Saat ini, pihaknya bersama dengan kementerian/lembaga lain tengah melakukan kajian mendalam untuk pembentukan holding dan sub holding tersebut.

"Bagaimana dengan komposisi ini dilakukan dan bisa diselesaikan Triwulan II-2022 atau selambat-lambatnya di bulan April tahun ini," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Senin (24/1/2022).

Sejatinya transformasi di tubuh PLN ini bukan barang baru atau dadakan. Terjadinya krisis batu bara pada awal Januari 2022 ini merupakan 'gong' atas perombakan besar-besaran di tubuh PLN tersebut.

Akan tetapi, krisis batu bara di PLN beberapa waktu yang lalu itu juga menjadi momentum pemerintah dalam menarik wacana baru atas suplai batu bara ke dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO). Saat ini suplai batu bara dalam negeri sesuai dengan ketentuan adalah 25% dengan patokan harga US$ 70 per ton.

Pemerintah saat ini sedang membahas skema baru dalam pembelian batu bara dalam negeri yakni melalui kema Badan Layanan Umum (BLU) untuk pungutan batu bara.

Dalam skema BLU itu, kelak PT PLN (Persero) akan mengikat kontrak dengan beberapa perusahana batu bara yang memiliki spesifikasi batubara sesuai dengan kebutuhan PLN. Nilai harga kontrak akan disesuaikan per tiga atau enam bulan sesuai dengan harga pasar yang berlaku.

Kemudian, PLN membeli batubara sesuai harga pasar saat ini. Yang mana PLN akan menerima subsidi dari BLU untuk menutup selisih antara harga pasar dengan harga berdasarkan acuan US$ 70 per ton.

Lalu, selisih antara harga yang diberikan PLN dan harga market batu bara akan diberikan oleh BLU melalui iuran yang diterima dari perusahan batu bara. Besaran iuran akan disesuaikan secara periodik berdasarkan selisih antara harga pasar yang dibeli PLN dan US$ 70 per ton.

Skema BLU batu bara dengan melepas harga batu bara ke pasar, dinilai akan menjadi 'bandul berat' bagi PLN. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menilai, ketika harga batu bara dilepas ke mekanisme pasar, maka PLN akan menomboki pembelian batu bara tersebut, sehingga akan sangat mempengaruhi cash flow PLN.

"Walaupun ada skema yang mengatakan PLN nanti bisa membayar ke supplier setelah nanti mendapatkan dana dari BLU, tapi lagi-lagi dari kertas dan di lapangan akan berbeda. Ini akan bahaya ketika PLN belum dapat dana dari BLU dan belum dapat pasokan batu bara, nanti terjadi missmatch karena persoalan pebayaran," terang Abra kepada CNBC Indonesia.

Dengan problem itu, kata Abra, ini akan berpotensi mengganggu operasional PLN khususnya berkenaan dengan skema pencairan dana. "Jangan sampai PLN menghadapi piutang dan ketidakjelasan pencairan dana," ungkap Abra.

Tak hanya soal harga batu bara dengan skema BLU itu yang akan menjadi 'bandul berat' bagi PLN. PLN ke depan juga akan dihadapkan pada over suplai listrik yang mana mau tidak mau PLN akan membeli listrik dari proyek-proyek kelistrikan yang akan on stream yakni melalui mega proyek 35.000 Mega Watt (MW).

Bahkan, Tak cuma kewajiban membeli listrik dari pembangkit 35.000 MW itu, yang terbaru adalah Kementerian ESDM baru saja menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2021 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang Terhubung Pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU).

Aturan ini sejatinya untuk menggenjot pengembangan pembangkit dari energi bariu terbarukan (EBT) dalam hal PLTS Atap sebagai dorongan menyelesaikan bauran EBT 23% pada tahun 2025. Tapi, pelanggan atau pengembang PLTS Atap itu, 100% listriknya akan diserap oleh PLN.

"Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap ini dapat dilaksanakan dan telah didukung oleh seluruh stakeholder sesuai hasil rapat koordinasi yang dipimpin oleh Bapak Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada 18 Januari 2022", ujar Direktur Jenderal EBTKE, Dadan Kusdiana di Jakarta, Jumat (21/01).

Pada rapat tersebut telah disepakati beberapa hal yang menjadi perhatian dalam implementasi Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021, yang berdampak nasional diantaranya potensi kenaikan Biaya Pokok Pembangkitan (BPP), subsidi dan kompensasi, potensi kehilangan penjualan PT PLN serta potensi pendapatan dari capacity charge.

Dampak APBN yang berkaitan dengan potensi peningkatan subsidi dan kompensasi dipengaruhi oleh pertumbuhan pemintaan listrik. Semakin besar permintaan listrik maka dampak terhadap subsidi dan kompensasi semakin kecil. Hal ini menjadi penting agar program pemerintah berkenaan creating demand listrik untuk dapat dipercepat.

Berdasarkan proyeksi yang dilakukan oleh Kementerian ESDM, target PLTS Atap sebesar 3,6 GW yang akan dilakukan secara bertahap hingga tahun 2025.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular