Jika IKN Nusantara Mau Di-Jakarta-Kan, Ya Sama Juga Bohong...

Kalau mau melihat pengalaman negara yang memindahkan 'ibu kota', tidak perlu jauh-jauh. Malaysia melakukannya. Kuala Lumpur tetap menjadi ibu kota negara, tetapi pusat pemerintahan dan yudisial dipindah ke Putrajaya pada 1999.
Alasan Negeri Harimau Malaya melakukan itu sama seperti Indonesia. Kuala Lumpur sudah terlalu padat, beban yang ditanggung terlalu berat untuk menjadi pusat pemerintah sekaligus pusat ekonomi.
Dengan statusnya yang hanya pusat pemerintahan, Putrajaya tidak menanggung beban terlampau berat. Dari sisi populasi, jumlah penduduk Putrajaya memang terus meningkat.
Pada 2010, jumlah penduduk Putrajaya adalah sekitar 70.000 orang. Pada 2020 jumlahnya bertambah menjadi 110.000 orang. Artinya dalam 10 tahun terjadi pertumbuhan 57,14%.
Secara nominal, laju itu memang signifikan. Namun kita harus membandingkan dengan jumlah penduduk Malaysia secara keseluruhan.
Pada 2020, populasi Malaysia adalah 32,58 juta. Artinya populasi Putrajaya hanya 0,34% dari total penduduk Negeri Jiran. Selama periode 2010-2020, rata-rata proporsi populasi Putrajaya terhadap keseluruhan Malaysia hanya 0,28%.
Bandingkan dengan Jakarta. Pada 2020, jumlah penduduk Indonesia adalah 270,2 juta jiwa. Dari jumlah itu, yang berstatus penduduk DKI Jakarta adalah 10,56 juta jiwa. Jadi proporsi penduduk Jakarta terhadap populasi nasional adalah 3,91%. Hingga 2035, proporsi itu diperkirakan bertahan di atas 3%.
Jadi kalau pusat pemerintahan Indonesia pindah ke Nusantara, maka beban yang ditanggung Jakarta akan sedikit berkurang. Ini tentu berdampak positif.
Akan tetapi kalau kemudin Nusantara akan seperti Jakarta yang sekarang, maka ceritanya akan berbeda. Ekonomi memang akan lebih terdistribusi, tidak Jakarta sentris. Namun ada risiko Nusantara bakal menanggung beban seberat Jakarta saat ini. Tidak akan dalam waktu dekat, memang, tetapi risiko itu perlu dipikirkan dari sekarang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)