Jika IKN Nusantara Mau Di-Jakarta-Kan, Ya Sama Juga Bohong...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 January 2022 12:35
Desain Istana Kepresidenan di Ibu Kota Baru di Kalimantan Timur  (Tangkapan Layar Instagram @nyoman_nuarta)
Foto: Desain Istana Kepresidenan di Ibu Kota Baru di Kalimantan Timur (Tangkapan Layar Instagram @nyoman_nuarta)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tunggulah aku di Jakartamu. Tempat labuhan semua mimpiku. Tunggulah aku di kota itu. Tempat labuhan semua mimpiku...

Penggalan lirik lagu Tunggu Aku di Jakarta yang dibawakan oleh band Sheila on 7 sangat mencerminkan Jakarta. Sheila on 7, yang asli Yogyakarta, sepertinya melihat Jakarta sebagai tempat menggantungkan harapan. Tempat untuk melabuhkan semua mimpi.

Jakarta adalah ibu kota Indonesia. Tidak hanya tempat bersemayamnya pemerintahan, Jakarta juga menjadi soko guru perekonomian nasional. Semua ada di Jakarta, asal ada duitnya.

Pada 2020, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jakarta adalah Rp 2.772,4 triliun. Jakarta menyumbang 17,56% dari total perekonomian Tanah Air.

pdbSumber: BPS DKI Jakarta

Jakarta yang pusat segalanya ini membuat beban lingkungan menjadi teramat berat. Belum lagi sejatinya posisi Jakarta sangat rawan karena berada di wilayah pesisir dan dikelilingi oleh belasan aliran sungai. Kondisi ini membuat Jakarta rentan dihantam bencana hidrometeorologi.

"Risiko Jakarta tenggelam bukan bahan candaan. Berdasarkan permodelan kami, sekitar 95% wilayah Jakarta Utara akan terendam pada 2050," kata Heri Andreas, Peneliti Institut Teknologi Bandung, sebagaimana dikutip dari BBC.

Dalam 10 tahun terakhir, permukaan tanah di Jakarta Utara ambles 2,5 meter. Di sejumlah wilayah, tanah ambles 2,5 cm setiap tahunnya.

Mengutip laporan Verisk Maplecroft, Jakarta adalah kota dengan kerugian ekonomi termahal di Asia-Afrika akibat perubahan iklim. Pada 2023, kerugiannya diperkirakan mencapai US$ 233 miliar.

Dengan asumsi US$ 1 setara dengan Rp 14.325 seperti kurs tengah Bank Indonesia (BI) 18 Januari 2022, maka kerugian itu mencapai Rp 3.337,72 triliun. Luar biasa...

Halaman Selanjutnya --> Nusantara Mau Di-Jakarta-Kan?

Alasan itu menjadi salah satu pertimbangan mengapa pemerintah Indonesia dari masa ke masa ingin memindahkan ibu kota negara. Namun wacana itu baru terwujud pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Kemarin, Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Undang-undang Ibu Kota Negara (UU IKN). Dalam UU itu, Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur ditetapkan sebagai ibu kota baru menggantikan Jakarta yang meski penuh gemerlap tetapi sudah renta.

Namun timbul pertanyaan. Apakah Nusantara, nama sang ibu kota baru, hanya akan menjadi pusat pemerintahan atau di-Jakarta-kan? Bila Nusantara akan menjadi Jakarta baru, maka dia juga menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi.

Anggito Abimanyu, Ekonom Universitas Gadjah Mada, memberikan argumen yang masuk akal. Apabila Nusantara akan menjadi seperti Jakarta, maka sama saja dengan memindahkan beban dari tempat lama ke tempat baru. Gali lubang-tutup lubang, tidak menyelesaikan masalah.

"Apakah kita akan membangun kota baru atau ibu kota baru sebagai pusat pemerintahan saja, atau sebagai penggerak ekonomi? Saya kira RUU ini tidak cukup jelas untuk memberikan suatu referensi, apakah ibu kota baru itu akan digunakan sebagai pusat pemerintahan ataukah sebagai dua-duanya," jelas Anggito, yang juga menjabat sebagai Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

Halaman Selanjutnya --> Menengok Pengalaman 'Ibu Kota' Baru Malaysia

Kalau mau melihat pengalaman negara yang memindahkan 'ibu kota', tidak perlu jauh-jauh. Malaysia melakukannya. Kuala Lumpur tetap menjadi ibu kota negara, tetapi pusat pemerintahan dan yudisial dipindah ke Putrajaya pada 1999.

Alasan Negeri Harimau Malaya melakukan itu sama seperti Indonesia. Kuala Lumpur sudah terlalu padat, beban yang ditanggung terlalu berat untuk menjadi pusat pemerintah sekaligus pusat ekonomi.

Dengan statusnya yang hanya pusat pemerintahan, Putrajaya tidak menanggung beban terlampau berat. Dari sisi populasi, jumlah penduduk Putrajaya memang terus meningkat.

Pada 2010, jumlah penduduk Putrajaya adalah sekitar 70.000 orang. Pada 2020 jumlahnya bertambah menjadi 110.000 orang. Artinya dalam 10 tahun terjadi pertumbuhan 57,14%.

Secara nominal, laju itu memang signifikan. Namun kita harus membandingkan dengan jumlah penduduk Malaysia secara keseluruhan.

Pada 2020, populasi Malaysia adalah 32,58 juta. Artinya populasi Putrajaya hanya 0,34% dari total penduduk Negeri Jiran. Selama periode 2010-2020, rata-rata proporsi populasi Putrajaya terhadap keseluruhan Malaysia hanya 0,28%.

Bandingkan dengan Jakarta. Pada 2020, jumlah penduduk Indonesia adalah 270,2 juta jiwa. Dari jumlah itu, yang berstatus penduduk DKI Jakarta adalah 10,56 juta jiwa. Jadi proporsi penduduk Jakarta terhadap populasi nasional adalah 3,91%. Hingga 2035, proporsi itu diperkirakan bertahan di atas 3%.

Jadi kalau pusat pemerintahan Indonesia pindah ke Nusantara, maka beban yang ditanggung Jakarta akan sedikit berkurang. Ini tentu berdampak positif.

Akan tetapi kalau kemudin Nusantara akan seperti Jakarta yang sekarang, maka ceritanya akan berbeda. Ekonomi memang akan lebih terdistribusi, tidak Jakarta sentris. Namun ada risiko Nusantara bakal menanggung beban seberat Jakarta saat ini. Tidak akan dalam waktu dekat, memang, tetapi risiko itu perlu dipikirkan dari sekarang.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aji/aji) Next Article Ini Jadwal 2.350 PNS-TNI Pindah ke Ibu Kota Baru, Bisa Nolak?

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular