Kemarin, harga futures kedelai di Chicago adalah US$ 1.376,75/bushel. Naik 0,15% dari posisi hari sebelumnya. Dalam sebulan terakhir, harga kedelai melonjak 10,67% secara point-to-point.
Keterbatasan produksi membuat harga kedelai dunia melonjak. Produksi di Brasil, negara penghasil kedelai utama dunia, kemungkinan bakal turun.
Badan Statistik Pangan Brasil (Conab) memperkirakan panen kedelai pada musim tanam 2021/2022 adalah 140,5 juta ton. Turun 1,61% dibandingkan musim tanam sebelumnya.
Kendala cuaca menjadi penghambat produksi kedelai. Iklim di wilayah Amerika Selatan kemungkinan cenderung panas dan kering, yang tidak kondusif bagi pertumbuhan kedelai.
"Prakiraan cuaca mengindikasikan curah hujan di Amerika Selatan tidak memadai. Bahkan di Argentina terpantau suhu akan lebih tinggi," sebut laporan Agritel, lembaga konsultan agrikultur.
Di Indonesia, tahu dan tempe adalah makanan rakyat jelata. Makanan sederhana, sama sekali tidak fancy. Namun siapa sangka, bahan baku utama tahu-tempe, yaitu kedelai, banyak yang didatangkan dari luar negeri.
Mengutip laporan Outlook Kedelai 2020 terbitan Kementerian Pertanian, produksi kedelai Tanah Air cenderung turun. Pada 2015-2019, produksi kedelai nasional terlihat mengkhawatirkan karena terus menurun cukup signifikan sebesar 37,33% pada 2017 dari tahun sebelumnya yang juga turun 10,75%.
Produksi kedelai pada 2015 adalah 963,18 ribu ton, tahun berikutnya turun menjadi 859,65 ribu ton, dan 2017 turun kembali menjadi 538,73 ribu ton. Pada 2018 produksi naik 20,65% menjadi 650 ribu ton, tetapi setahun kemudian kembali turun 34,74% atau sebesar 424,19 ribu ton. Secara rata-rata lima tahun terakhir produksi kedelai nasional tumbuh negatif 15,54% per tahun.
"Penurunan produksi kedelai nasional lima tahun terakhir merupakan dampak negatif dari persaingan penggunaan lahan dengan komoditas lain dan terjadinya transformasi lahan yang tidak bisa dihindari karena tuntutan ekonomi dan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Fakta ini ternyata menggerus luas panen kedelai lima tahun terakhir turun rata-rata 11,97% per tahun.
"Penurunan luas panen kedelai secara nasional cukup signifikan terjadi tahun 2017 dan 2019 sebesar 38,34% dan 42,20%, dari tahun 2015 seluas 614,10 ribu hektar di tahun 2019 tinggal hampir setengahnya yaitu seluas 285,27 ribu hektar," ungkap laporan tersebut.
Pada saat yang sama, sebenarnya konsumsi kedelai juga cenderung turun. Konsumsi kedelai pada periode 2002-2019 rata-rata sebanyak 7,84 kg/kapita/tahun dan tumbuh negatif 1,85% per tahun. Namun, penurunan konsumsi masih lebih landai ketimbang produksi yang anjlok lumayan dalam.
Akibatnya, Indonesia terpaksa harus mengimpor kedelai karena produksi dalam negeri yang tidak (atau belum memadai). Perkembangan volume impor kedelai Indonesia sepanjang 1987-2019 dari tahun ke tahun cenderung terus meningkat sebesar 13,5% per tahun. Dengan kata lain Indonesia rata-rata melakukan impor kedelai 2,59 juta ton per tahun. Selama kurun waktu tersebut terjadi lonjakan impor dua kali dari tahun sebelumnya, yaitu pada 1999 dan 2012 sebesar 116% dan 189,65%.
"Impor Indonesia selama 2015-2019 dibanjiri kedelai dari tiga negara di Benua Amerika dengan pangsa mencapai 95,96% per tahun atau rata-rata sebesar 6,53 juta ton per tahun. Ketiganya adalah Amerika Serikat (AS) sekaligus tertinggi dengan pangsa impor 36,51% per tahun atau volume impor 2,50 juta ton per tahun, selanjutnya Argentina dengan pangsa 36,18% atau kuantitas impor rata-rata 2,42 juta ton per tahun, dan Brasil dengan pangsa 23,27% atau 1,61 juta ton per tahun," sebut laporan itu.
Sedihnya, laporan Kementerian Pertanian mengakui bahwa Indonesia semakin tergantung terhadap kedelai impor. Selama periode 2015-2019, tingkat ketergantungan impor (Import Dependency Ratio/IDR) ada di 78,44%.
"Nilai IDR tersebut seiring dengan nilai Self Sufficiency Ratio (SSR) sebesar 21,61% per tahun. SSR menjelaskan bahwa Indonesia lima tahun terakhir hanya mampu mencukupi kebutuhan kedelai dari produksi sendiri sebesar 9,15% dari total kebutuhan.
"Situasi ini menjadi lampu merah untuk impor kedelai Indonesia, karena tingkat ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor yang sangat tinggi tersebut. Apabila dalam jangka pendek kita tidak melakukan terobosan-terobosan yang nyata untuk meningkatkan luas panen kedelai yang sekaligus akan meningkatkan produksi kedelai domestik, dikhawatirkan dalam waktu dekat kita akan menjadi net importir kedelai segar," tegas laporan Kementerian Pertanian.
 Foto: Kementerian Pertanian kedelai |
Untuk proyeksi 2018-2024, Kementerian Pertanian memperkirakan produksi kedelai nasional bisa naik. Rata-rata kenaikan per tahun adalah 7,36%.
Di sisi lain, konsumsi juga naik tetapi tidak setajam produksi. Konsumsi kedelai nasional 2018-2024 diperkirakan tumbuh 1,46% rata-rata per tahun.
"Peningkatan konsumsi diduga terkait dengan terjadinya pandemi global Covid-19, yang menyebabkan terjadinya resesi ekonomi sehingga berimbas terhadap menurunnya daya beli masyarakat terhadap protein hewani, dan masyarakat mengalihkan konsumsinya ke olahan kedelai seperti tahu dan tempe yang harganya relatif terjangkau. Selain itu peningkatan konsumsi kedelai juga dipengaruhi oleh semakin meningkatnya gaya hidup vegan di kalangan masyarakat golongan menengah ke atas yang mengutamakan menu makanan produk vegetarian," tulis laporan Kementerian Pertanian.
Kenaikan produksi ini akan membantu mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor. Proyeksi net impor kedelai pada 2018-2024 cenderung tumbuh melandai di 1,67% per tahun.
Pada 2020-2021 volume net impor diduga naik 15,6% menjadi 2,66 juta ton dan 0,19% menjadi 2,67 juta ton. Tiga tahun selanjutnya mengalami penurunan, dimulai pada 2022 turun 0,77%, setahun kemudian turun 2,2%, dan pada 2024 diperkirakan turun 4,47% sehingga net impor menjadi 2,47 juta ton.
 Sumber: Kementerian Pertanian |
TIM RISET CNBC INDONESIA