ATURAN DMO

Dunia "Kecanduan" Batu Bara RI, Tepatkah Ekspor Dilarang?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
Selasa, 11/01/2022 08:50 WIB
Foto: Pekerja melakukan bongkar muat batubara di Terminal Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (6/1/2022). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah seruan pemimpin negara maju untuk mengurangi konsumsi energi berbasis fosil, realita justru berkata lain. Permintaan batu bara di era pandemi kembali menguat, dan larangan ekspor batu bara Indonesia pun menciptakan tantangan serius.

Sebelum pandemi menyerang, arah ramalan roda zaman terkait energi cenderung seragam: penggunaan energi fosil-utamanya batu bara yang dinilai paling kotor-semakin menurun di tengah kampanye terkait perubahan iklim. Sebaliknya, penggunaan energi terbarukan meningkat.

Tren penurunan pengurangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) diperkirakan berujung pada realita bahwa produksi listrik dari PLTU pada tahun 2018 bakal menjadi rekor tertinggi, setelah pada 2019 dan 2020 pembangkitan listrik PLTU menurun.


Bahkan ketika pandemi berlangsung, batu bara sempat mendapatkan outlook negatif karena tiga hal: musim dingin yang tak terlalu parah di belahan bumi Utara, harga gas yang rendah, dan pertumbuhan pembangkit listrik EBT yang tinggi.

Hal ini wajar terjadi, karena di bulan-bulan awal krisis, penurunan permintaan baru bara secara tahunan mencapai digit ganda. Per 2020, permintaan listrik dari batu bara dunia turun 4,4%--menjadi pelemahan terbesar dalam beberapa dekade terakhir.

Namun, pemulihan ekonomi di China yang lebih cepat dari perkiraan menjadi pengubah, dan mendongkrak permintaan listrik PLTU sejak April. Di tengah rebound konsumsi listrik dunia, penambahan pasokan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan tak mampu mengejar.

Sumber: IEA

Disparitas berdasarkan wilayah terlihat sangat besar. Permintaan batu bara di China tumbuh 1% pada 2020, tapi anjlok nyaris 20% di Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa, serta 8% di India dan Afrika Selatan.

Lonjakan harga gas alam-yang digadang-gadang sebagai energi fosil terbersih-membuat batu bara kembali dilirik, sehingga International Energy Agency (IEA) melihat produksi listrik PLTU melompat 9% akhir tahun ini menjadi 10,35 PWh (Petta Watt-hour).

Dalam laporan berjudul "Coal 2021: Analysis and Forecast to 2024" yang dirilis pada 17 Desember 2021, IEA menilai lompatan produksi listrik dari PLTU setara 10.350 TWh (Terra Watt-hour) itu menjadi rekor tertinggi baru sehingga pangsa pasar batu bara di bauran energi global akan mencapai 36% atau terpaut hanya lima persen poin dari puncak tertingginya pada 2007.

Hal ini, mengutip Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol, menunjukkan bahwa upaya menuju emisi nol-bersih (net zero emission) masih menjadi pekerjaan rumah yang besar. Energi terbarukan harus menciptakan efisiensi yang setara dengan pembangkitan listrik berbasis batu bara.

IEA memperkirakan permintaan batu bara masih akan terus meningkat. Di AS dan Uni Eropa, produksi listrik PLTU diprediksi melesat nyaris 20% pada 2021 dan masih belum cukup besar untuk menyentuh rekor pada 2019. Di sisi lain, pertumbuhan di India diprediksi sebesar 12% dan di China sebesar 9%.


(ags)
Saksikan video di bawah ini:

Video: PLTU Bertambah, Energi Terbarukan Tetap Jadi Prioritas

Pages