ATURAN DMO

Dunia "Kecanduan" Batu Bara RI, Tepatkah Ekspor Dilarang?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
11 January 2022 08:50
Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia menggelar konferensi pers berisi pernyataan sikap APBI terkait dampak kewajiban penggunaan kapal nasional terhadap ekspor batubara (CNBC Indonesia/Anisatul Umah)
Foto: Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia menggelar konferensi pers berisi pernyataan sikap APBI terkait dampak kewajiban penggunaan kapal nasional terhadap ekspor batubara (CNBC Indonesia/Anisatul Umah)

Di tengah proyeksi lonjakan permintaan batu bara di China, kebijakan Indonesia untuk menghentikan ekspor batu bara (termal) menuai protes dari para konsumen utama batu bara dunia, tak terkecuali negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan yang selama ini getol menyerukan pengurangan pemanfaatan batu bara untuk listrik.

Kebijakan yang diambil pemerintahan Joko Widodo ini pada dasarnya tidak muncul dari pertimbangan geopolitis strategis, melainkan lebih karena kondisi darurat di mana pasokan batu bara PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) tiris, sehingga berisiko memicu pemadaman listrik bagi 10 juta pelanggannya di Indonesia.

PLN membutuhkan 20 juta ton batu bara untuk stok batu bara di PLTU minimal 20 hari operasi pada bulan Januari 2022. Namun sebanyak 20 PLTU berdaya 10.850 Mega Watt (MW) saat ini mengalami kelangkaan pasokan batu bara.

Oleh karenanya, pemerintah untuk sementara melarang ekspor batu bara bagi perusahaan batu bara yang memegang Izin Usaha Pertambangan (IUPK), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) maupun Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B).

Pasalnya kebijakan kewajiban pemenuhan pasar domestik (domestic market obligation/DMO) sebanyak 25% dari hasil produksi pertambangan-sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri ESDM No 139.K/HK.02/MEM.B/2021--urung dilaksanakan. Dari target pasokan batu bara penugasan Januari 2022 sebesar 5,1 juta ton, hanya terpenuhi 35.000 ton atau kurang dari 1%.

Efek kebijakan ini sangat signifikan memukul pasar batu bara dunia, karena Indonesia saat ini merupakan eksportir utama batu bara termal dunia dengan volume ekspor mencapai 400 juta ton (2020), atau setara dengan 40% dari ekspor batu bara jenis pembangkit listrik tersebut.

Ya, Indonesia sekalipun berada di posisi keempat dunia dari sisi produksi batu bara global, saat ini menjadi net exporter terbesar batu bara termal. Dua produsen terbesar batu bara China dan India, saat ini menjadi net importer batu bara termal.

Australia sebagai salah satu produsen batu bara utama dunia mengekor Indonesia dengan ekspor batu bara termal sebanyak 213 juta ton, sementara Amerika Serikat (AS) justru mengimpor batu bara termal dari Indonesia, sebanyak 600.000 ton (2020).

Dengan strategisnya posisi batu bara nasional tersebut, larangan ekspor batu bara per Januari saja menurut proyeksi Tim Riset CNBC Indonesia bisa memangkas 30 juta pasokan batu bara di dunia. Tidak heran, harga batu bara dunia meroket mengikuti kabar larangan ekspor Indonesia.

Harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) akhir pekan lalu kembali melesat, ditutup di level US$ 180/ton atau melesat 11,35% dari posisi penutupan perdagangan sehari sebelumnya. Sepanjang tahun berjalan, harga komoditas andalan Indonesia ini terhitung melesat 18,6%.

Dengan melihat konstalasi pasar sekarang, di mana permintaan dunia (khususnya dari China yang lagi berseteru dengan pemasok utamanya yakni Australia) dan tren pemulihan ekonomi dunia yang memicu permintaan batu bara, kebijakan larangan ekspor menjadi kontraproduktif.

Idealnya, dalam perhitungan bisnis, pasokan justru harus ditambah dalam arti pelaku usaha batu bara mestinya didorong untuk mendongkrak produksi, guna memenuhi kebutuhan DMO dan secara bersamaan meraup peluang ekspor di tengah kenaikan permintaan dan harga dunia.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(ags)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular