
Ternyata Tak Cuma Anies, Para Gubernur Ini 'Bandel' Soal UMP

Ketika Ibu Kota dipimpin oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), kenaikan UMP selalu di bawah rata-rata dari pusat. Pada tiga tahun masa kepemimpinan Ahok, UMP naik masing-masing 10,95%, 10,61%, dan 14,81%. Sementara rata-rata kenaikan UMP dari pemerintah pusat adalah 16,14%, 13,1%, dan 11,88%.
Ahok menerima tongkat kepemimpinan di Balai Kota setelah Gubernur Joko Widodo (Jokowi) maju dan terpilih menjadi presiden. Masa pemerintahan Jokowi di Jakarta cukup singkat. Namun masa kepemimpinan eks Wali Kota Solo itu diwarnai dengan kenaikan UMP yang luar biasa.
Pada 2012, Jokowi menaikkan UMP 18,54% saat pusat hanya menaikkan 10,12%. Setahun kemudian lebih sangar lagi, UMP Jakarta meroket 43,87% ketika pemerintah pusat menaikkan 19,1%.
Lalu saat Fauzi Bowo alias Foke memimpin, Jakarta cukup patuh dengan arah kenaikan UMP dar pusat. Dalam lima tahun masa jabatannya, Foke hanya sekali menaikkan UMP Jakarta di atas ketetapan pusat yaitu pada 2011.
Begitu pula dengan Sutiyoso alias Bang Yos. Selama lima tahun periode kedua masa jabatannya, Bang Yos hanya sekali menetapkan UMP naik melebihi arahan dari pusat.
Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahan Sekuritas, mencatat rata-rata kenaikan UMP di Jakarta dalam 10 tahun terakhir mencapai 13,3% per tahun. Lebih tinggi dari rata-rata inflasi Jakarta (4%) dan produktivitas pekerja (2,8%).
"Dengan Rp 4,4 juta atau US$ 308 per bulan, upah di Jakarta dan Karawang akan menjadi yang tertinggi di ASEAN. Lebih tinggi dari Vietnam (US$ 181/bulan) atau Thailand (US$ 214/bulan)," sebut Satria dalam risetnya.
Kenaikan UMP yang tidak diiringi dengan kenaikan produktivitas, lanjut Satria, akan menjadi senjata makan tuan bagi pasar tenaga kerja di Tanah Air. Pasalnya, komponen biaya akan meningkat sementara output tidak mampu mengikuti. Besar pasak daripada tiang.
Kondisi ini akan berujung pada kesulitan dunia usaha untuk melakukan ekspansi dan menciptakan lapangan kerja baru. "Kenaikan UMP saat ekonomi dengan sulit, menurut kami, hanya akan menyebabkan hambatan investasi dan sulitnya membuka lapangan kerja baru sehingga berdampak negatif terhadap pasar tenaga kerja," tegas Satria.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)