
Cuci Tangan Negara Kaya Terhadap 'Kiamat' Iklim di Bumi

Urusan perubahan iklim ini memang sangat penting, namun yang perlu digarisbawahi adalah gerakan yang ekstrem ini juga harus melihat karakteristik sosial, politik, dan ekonomi yang sangat berbeda di setiap negara.
Merubah sumber daya batu bara ke energi ramah lingkungan tidak gratis. Menurut Badan energi Internasional (IEA), transisi ke energi terbarukan dari bahan bakar fosil diperkirakan membutuhkan dana investasi US$ 800-US$ 820 miliar per tahun.
Proyek besar mengatasi iklim ini perlu campur tangan negara maju soal pembiayaan untuk transisi energi di negara berkembang.
Sejak 2009, angka US$ 100 miliar per tahun disepakati keluar dari dompet negara maju untuk membantu mengurangi kesenjangan modal dalam merubah iklim dengan negara berkembang.
Namun, hanya 80% terealisasi dari US$100 miliar yang dijanjikan setiap tahun.
Xie Zhenhua, Utusan China untuk Perubahan Iklim, mencatat pada hari Selasa di Glasgow bahwa "negara-negara kaya membuat janji yang signifikan untuk menyalurkan US$ 100 miliar per tahun ke negara-negara yang kurang kaya pada tahun 2020 dua belas tahun yang lalu, dan ini belum terpenuhi."
AS, Jepang, Norwegia, Swedia, dan lainnya menilai dukungan US$100 miliar masih sulit dan kemungkinan tidak akan tercapai hingga 2022 atau 2023.
Jika kendala penyaluran bantuan dana dan keributan "siapa yang harus disalahkan untuk pemanasan global" tidak menemui solusi, dunia akan semakin dekat dengan kiamat iklim yang nyata.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ras/ras)
[Gambas:Video CNBC]
