Menteri LHK: Pembangunan Jokowi Tak Setop Gegara Deforestasi

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
04 November 2021 10:30
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya dalam acara Outlook Perekonomian Indonesia 2021. (Tangkapan Layar Youtube PerekonomianRI)
Foto: Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya dalam acara Outlook Perekonomian Indonesia 2021. (Tangkapan Layar Youtube PerekonomianRI)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar membuat pernyataan yang menghebohkan publik. Dia menyampaikan pembangunan yang sedang berlangsung secara besar-besaran di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi.

Ungkapan ini dia sampaikan saat memenuhi undangan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Universitas Glasgow, Selasa (02/11/2021).

Mengutip dari akun facebooknya, dia menyampaikan bahwa FOLU net carbon sink 2030 atau netral karbon melalui sektor kehutanan dan lahan jangan diartikan sebagai zero deforestation. Menurutnya, ini perlu dipahami oleh semua pihak bahwa ini untuk kepentingan nasional.

Melalui agenda FOLU net carbon sink, Indonesia menegaskan komitmen mengendalikan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan, sehingga terjadi netralitas karbon di sektor kehutanan, di antaranya berkaitan dengan deforestasi pada tahun 2030.

Bahkan pada tahun tersebut dan seterusnya bisa menjadi negatif, atau terjadi penyerapan/penyimpanan karbon sektor kehutanan.

"Oleh karena itu, pembangunan yang sedang berlangsung secara besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi," paparnya, dikutip Kamis (04/11/2021).

Menurutnya, menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation sama dengan melawan mandat UUD 1945 untuk penetapan nilai dan tujuan (values and goals establishment), dan juga membangun sasaran nasional untuk kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi.

Dia menegaskan, kekayaan alam Indonesia termasuk hutan harus dikelola dan pemanfaatannya berdasarkan kaidah-kaidah berkelanjutan dan berkeadilan. Terminologi deforestasi yang tidak sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia menurutnya juga harus ditolak.

"Karena di negara Eropa contohnya, sebatang pohon ditebang di belakang rumah, itu mungkin masuk dalam kategori dan dinilai sebagai deforestasi. Ini tentu beda dengan kondisi di Indonesia," jelasnya.

Oleh karena itu, menurut Siti, Indonesia harus berhati-hati karena di situ ada persoalan cara hidup, gaya hidup, termasuk misalnya tentang definisi rumah huni menurut masyarakat Indonesia dengan halaman rumah dan sebagainya yang berbeda dengan konsep rumah huni menurut kondisi di Eropa, Afrika, dan lainnya.

"Jadi harus ada compatibility dalam hal metodologi bila akan dilakukan penilaian. Oleh karenanya, pada konteks seperti ini jangan bicara sumir dan harus lebih detail. Bila perlu, harus sangat rinci," imbuhnya.

Lebih lanjut dia membandingkan kemajuan pembangunan antar negara. Beberapa negara maju dia sebut sudah selesai membangun sejak tahun 1979-an. Selebihnya, mereka tinggal menikmati hasil pembangunan. Artinya, sudah lebih dari 70 tahun untuk masuk ke tahun 2050 saat mereka sebut net zero emission.

Lalu dia pun mempertanyakan dengan kondisi objektif Indonesia, apakah Indonesia sudah ada di puncak pembangunan nasional? Dia pun berpandangan, memaksa Indonesia untuk zero deforestation di 2030 adalah sesuatu yang tidak tepat dan tidak adil. Hal ini dikarenakan setiap negara memiliki masalah-masalah kunci sendiri dan dinaungi Undang-Undang Dasar untuk melindungi rakyatnya.

"Misalnya di Kalimantan dan Sumatera, banyak jalan yang terputus karena harus melewati kawasan hutan. Sementara ada lebih dari 34 ribu desa berada di kawasan hutan dan sekitarnya. Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan, lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi? Sementara negara harus benar-benar hadir di tengah rakyatnya," tuturnya.

Dengan target penurunan emisi 29% dengan usaha sendiri, dan 41% dengan bantuan internasional, Indonesia berusaha memenuhi target tersebut secara rinci, terukur, dan mengerjakannya secara konsisten. Sehingga tidak bisa dibandingkan upaya Indonesia dengan negara lainnya, apalagi jika hanya berpatokan pada angka-angka di atas kertas.

"Indonesia dengan target penurunan emisi 41% saja, artinya kita mengurangi emisi sekitar 1,1 giga ton. Sementara mengambil contoh Inggris, pengurangan emisinya 200-an jutaan, tapi bunyinya 50%. Jadi faktor angka absolut ini yang harus dipahami," tuturnya.

Berdasarkan arahan Presiden Joko Widodo kepadanya, dia sebut pemerintah menjanjikan yang bisa dikerjakan, tidak berhenti pada retorika saja. Karena pemerintah bertanggung jawab kepada masyarakat sendiri sebagaimana dijamin di dalam UUD 1945.

"Strategi yang dimiliki Indonesia, belum tentu dimiliki negara lain. Kita sedang terus menerus memperbaiki alam kita dengan langkah-langkah yang terukur. Kita tidak akan menjanjikan apa yang tidak bisa kita kerjakan," lanjutnya.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ada Ancaman Lebih Ngeri dari Covid, Begini Rencana Luhut

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular