Ambisi RI Capai Netral Karbon dan Potensi Membludaknya Impor

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
03 November 2021 12:40
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). (CNBC Indonesia/ Andrean Krtistianto)
Foto: Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). (CNBC Indonesia/ Andrean Krtistianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - RI memiliki komitmen untuk ikut andil di dalam mencapai netral karbon atau net zero emission dunia pada 2050 dan menjaga peningkatan suhu pada level 1,5 derajat Celsius.

Hal ini disampaikan langsung oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif pada Ministrial Talks, dalam rangkaian agenda Conference of Parties (COP) ke-26 di Paviliun Indonesia, Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11/2021).

Dia mengatakan, komitmen ini diperkuat dengan perumusan sejumlah kebijakan, khususnya di sektor energi. Arifin menyebut Indonesia sendiri memiliki target penurunan emisi atau mencapai netralitas karbon pada 2060 atau lebih awal.

Namun demikian, dia menyebut Indonesia masih menghadapi sejumlah tantang dalam upaya mencapai target netral karbon ini, antara lain infrastruktur energi, ketersediaan teknologi, hingga masalah dana. 

"Transisi energi menuju net zero emission membutuhkan infrastruktur energi, teknologi, dan pembiayaan. Melalui peningkatan infrastruktur seperti interkoneksi jaringan, kita (Indonesia) berpeluang untuk mengoptimalkan pemanfaatan EBT," jelas Arifin saat menyampaikan pandangannya dalam COP 26 tersebut.

Arifin menjelaskan, RI berencana mulai mengembangkan Super Grid pada 2025 untuk mengatasi kesenjangan antara sumber EBT dan lokasi di daerah yang memiliki permintaan listrik yang tinggi.

Penerapan teknologi tepat guna juga dibutuhkan tidak hanya untuk menjaga dan meningkatkan keandalan dan efisiensi pasokan, tetapi juga untuk mengintegrasikan sumber EBT dan mengantisipasi sifat intermittent (berjeda) EBT, seperti matahari dan angin.

"Teknologi yang dibutuhkan untuk mengembangkan EBT termasuk jaringan pintar (smart grid), smart meter dan sistem penyimpanan energi, termasuk pumped storage dan Battery Energy Storage System (BESS)," tuturnya.

Soal pembiayaan, dia menyebut sektor swasta memiliki andil besar sebagai penopang finansial selain pemerintah dan lembaga keuangan. Agar investasi di sektor ini lebih menarik maka diperlukan kebijakan dan regulasi yang tepat untuk menciptakan iklim yang kondusif.

"Kami berusaha untuk mencapainya dengan menyederhanakan dan merampingkan kerangka peraturan," paparnya.

Pemerintah baru saja mengesahkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT Perusahaan Listrik Negara 2021-2030 di mana porsi sumber energi berbasis EBT melebihi porsi energi fosil, yaitu sebesar 51,6% atau setara dengan 20,9 Giga Watt (GW).

"Kami mengakui bahwa kerangka peraturan sangat penting untuk mempercepat penyebaran energi terbarukan dan memastikan keberhasilan transisi energi kami," ungkap Arifin.

Salah satu sumber energi terbarukan yang dimanfaatkan pemerintah untuk mendorong percepatan bauran energi adalah energi surya melalui pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Khusus untuk PLTS Atap, pemerintah bakal menerbitkan insentif agar pengembangannya semakin masif. Bahkan, pemerintah tengah merevisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49 Tahun 2018 jo No. 13/2019 jo No.16/2019 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero).

Tujuannya yaitu agar masyarakat semakin tertarik memanfaatkan PLTS Atap. Salah satu poin yang direvisi adalah mengenai ketentuan ekspor listrik ke PT PLN (Persero), yang mulanya dibatasi 65%, direvisi menjadi 100%.

Pada Pasal 6 Permen ESDM No.49 tahun 2018 diatur bahwa "Energi listrik pelanggan PLTS Atap yang diekspor dihitung berdasarkan nilai kWh ekspor yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor dikali 65%."

Adapun kWh ekspor ini adalah jumlah energi listrik yang disalurkan dari sistem instalasi pelanggan PLTS Atap ke sistem jaringan instalasi pelanggan PT PLN (Persero) yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor.

Namun sayangnya, banyak komponen PLTS masih berasal dari impor. Seperti yang disebutkan Menteri ESDM di atas, Indonesia masih memiliki tantangan dalam hal teknologi. RI belum punya pabrikan yang memadai untuk memproduksi solar panel. Saat ini mayoritas solar panel di dunia adalah buatan China, mencapai sekitar 70%-80%.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov berpandangan, syarat fundamental di dalam mendorong akselerasi pemanfaatan PLTS yaitu penguasaan industri dalam negeri dari sisi hulu.

"Sebab saat ini faktanya industri komponen PLTS domestik khususnya modul surya masih di fase assembly penghasil modul surya, jadi tidak murni produksi dalam negeri," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (02/11/2021).

Menurutnya, pemerintah perlu mendorong perusahaan domestik, baik swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), untuk masuk ke dalam industri sel surya sebagai bahan dasar pembuatan modul surya.

"Kita jangan terburu-buru untuk mempercepat penetrasi PLTS selama komponen impornya masih tinggi yang justru akan menjadi jebakan dalam jangka panjang," tegasnya.

Dia menjelaskan, jika sebagian besar komponennya masih diimpor, maka energi listrik Indonesia menjadi tidak mandiri dan akan terus ditopang dari ketergantungan impor komponen PLTS.

"Pengembangan PLTS juga akan berimplikasi terhadap beban PLN dalam menyiapkan grid (jaringan) untuk menerima pembangkit intermittent, artinya ada potensi tambahan capex yang harus dialokasikan PLN," lanjutnya.

Namun demikian, ketika Holding BUMN Baterai atau Indonesia Battery Corporation bisa membangun industri baterai untuk pembangkit listrik energi terbarukan seperti PLTS ini, maka ini bisa menekan impor komponen untuk pembangkit energi terbarukan dan diharapkan bisa menekan biaya listrik ke depannya.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Aturan PLTS Atap Diubah, Pemakai Tak Bisa Jual Listrik ke PLN

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular