
Demi Ambisi Netral Karbon, RI Butuh Rp9.000 T, Duitnya Ada?

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengakui bahwa Indonesia memiliki sejumlah tantangan untuk mencapai target netral karbon atau net zero emission pada 2060 mendatang atau lebih awal.
Selain membutuhkan infrastruktur energi dan teknologi, Indonesia juga membutuhkan dukungan pendanaan.
Pasalnya, guna mencapai target netral karbon 2060 ini, Indonesia diperkirakan membutuhkan dana fantastis, yakni mencapai hingga Rp 9.000 triliun, itu pun hanya untuk meningkatkan kapasitas energi baru terbarukan (EBT). Angka tersebut pernah disebutkan oleh Wakil Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo belum lama ini.
"Transisi energi menuju net zero emission membutuhkan infrastruktur energi, teknologi, dan pembiayaan. Melalui peningkatan infrastruktur seperti interkoneksi jaringan, kita (Indonesia) berpeluang untuk mengoptimalkan pemanfaatan EBT," jelas Arifin saat menyampaikan pandangannya pada Ministrial Talks, dalam rangkaian agenda Conference of Parties (COP) ke-26 di Paviliun Indonesia, Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11/2021).
Lantas, kebutuhan dana sebesar ini kira-kira bisa didapatkan dari mana?
Terkait pembiayaan, Arifin menegaskan peran sektor swasta sebagai penopang finansial selain pemerintah dan lembaga keuangan sebagai aspek penting dalam meningkatkan dan mempercepat implementasi energi rendah karbon.
"Diperlukan kebijakan dan regulasi yang tepat untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif. Kami berusaha untuk mencapainya dengan menyederhanakan dan merampingkan kerangka peraturan," paparnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai, RI perlu bantuan dari global untuk mendapatkan pendanaan sebesar Rp 9.000 triliun tersebut.
"Saya kira perlu bantuan dari global," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (03/11/2021).
Menurutnya, manfaat dari upaya menekan emisi dengan mendorong pembangkit EBT tidak hanya untuk Indonesia, namun juga masyarakat secara global. Oleh karena itu, global juga perlu ikut berpartisipasi di dalam pendanaan.
"Hal tersebut mengingat manfaat dari target tersebut bukan hanya Indonesia, tetapi juga masyarakat global," jelasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, jika beban pembiayaan sebesar ini hanya ditanggung Indonesia sendiri, maka ini akan memberatkan. Selain itu, target mencapai netral karbon tersebut diperkirakan juga akan memerlukan waktu yang lebih lama lagi jika pendanaan hanya ditanggung Indonesia.
"Kalau hanya diserahkan kepada Indonesia, secara mandiri akan berat dan dipastikan memerlukan waktu yang lama," lanjutnya.
Sebelumnya, Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengungkapkan saat ini produksi listrik mencapai 250 Tera Watt hour (TWh) dan diperkirakan akan meningkat mencapai 1.800 TWh pada 2060.
Lalu, dengan adanya tambahan 120 TWh dari proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara 35 Giga Watt (GW), maka diperkirakan masih ada kekurangan sebesar 1.380 TWh untuk memenuhi kebutuhan 1.800 TWh di 2060.
Kekurangan kapasitas sebesar 1.380 TWh dengan perkiraan kapasitas pembangkit 250-280 GW ini akan diisi dengan pembangkit EBT. Dia menjelaskan, jika setiap 1 GW membutuhkan investasi US$ 2 miliar, maka RI membutuhkan investasi sekitar US$ 600 miliar atau sekitar Rp 9.000 triliun.
"Butuh biaya berapa 250 Giga Watt hingga 280 Giga Watt? Ya dikalikan saja 2,5 (miliar dolar per 1 GW), jadi sekitar US$ 600 miliar hingga US$ 700 miliar atau setara Rp 9.000 triliun. Itu besar sekali," jelasnya.
Menurutnya, kondisi saat ini RI sedang dalam fase dilema energi. Pasalnya, jika menginginkan energi yang murah, maka bisa menggunakan bahan bakar fosil seperti batu bara, namun udara tercemar.
Sementara jika menginginkan udara yang bersih, tentu bisa gunakan tenaga pembangkit EBT yang ongkosnya lebih mahal. Di sisi lain, beberapa pembangkit berbasis EBT juga belum bisa beroperasi penuh 24 jam, sehingga pasokan dari jenis energi lain atau penyimpanan daya listrik (baterai) diperlukan.
Apabila ada teknologi baterai baru dan biayanya lebih rendah, hal itu akan membantu. Inovasi pun diperlukan agar biaya pembangkit listrik EBT bisa ditekan lebih murah.
"Indonesia ketika ada dilema itu agak berat. Jika kita ingin tambah kapasitas EBT, jadi mahal. Kita buka ruang inovasi untuk membangun EBT di masa depan. Kita kalau mau bangun energi bersih EBT, energi murah ya EBT," tuturnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Menteri ESDM Akui RI Butuh Dana buat Capai Netral Karbon 2060
