Punya BUMN Baterai, Harga Listrik PLTS Harus Bisa Lebih Murah

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
02 November 2021 17:58
Pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Gedung Bertingkat. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Gedung Bertingkat. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) menjadi salah satu andalan pemerintah dalam mengejar target bauran energi baru terbarukan (EBT).

Namun, mayoritas solar panel di dunia adalah buatan China, di mana sekitar 70%-80% solar panel dunia dalah pabrikan China.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov menilai, RI bisa mendorong pengembangan PLTS melalui Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Baterai atau Indonesia Battery Corporation (IBC) yang telah dibentuk.

"Sudah terbentuk BUMN baterai, itu kan juga jadi backbone dorong pengembangan PLTS di dalam negeri," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (02/11/2021).

PLTS menurutnya masih perlu dikembangkan karena sifatnya masih intermittent (berjeda), sehingga perlu storage atau baterai dengan tingkat keekonomian di Indonesia. Dengan demikian, harga listrik PLTS pun bisa ditekan menjadi lebih murah. Saat ini harga listrik PLTS dengan menggunakan baterai masih berada di kisaran belasan sen dolar per kilo Watt hour (kWh).

"Masih adanya sifat intermittent, storage atau bakteri yang tingkat keekonomian di Indonesia," ucapnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, meski Indonesia melakukan transisi energi, namun dengan komponen yang mayoritas belum bisa diproduksi dalam negeri, menjadikan Indonesia memiliki ketergantungan pada impor.

"Sebenarnya di sisi lain pisau bermata dua," lanjutnya.

Abra berpandangan, syarat fundamental dalam mendorong akselerasi pemanfaatan PLTS yaitu penguasaan industri dalam negeri dari sisi hulu.

"Sebab saat ini faktanya industri komponen PLTS domestik khususnya modul surya masih di fase assembly penghasil modul surya, jadi tidak murni produksi dalam negeri," tuturnya.

Untuk itu, imbuhnya, pemerintah perlu mendorong perusahaan domestik baik swasta maupun BUMN untuk masuk ke dalam industri sel surya sebagai bahan dasar pembuatan modul surya.

Sebelumnya, Wakil Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo mengungkapkan pada 2001 China telah menerapkan bauran energi (energy mix), di mana 50% menggunakan energi fosil dan 50% dari EBT.

Kemudian pada 2019, pembangkit batu bara justru meningkat, mendekati 86%. Artinya, di saat itu China menekankan pertumbuhan ekonomi, tapi tidak menekankan pada keberlanjutan lingkungan karena hanya memikirkan energi murah.

Namun, kata Darmawan, di saat bersamaan China membangun kekuatan yang didominasi dengan produk-produk EBT, dan saat ini hampir 70% hingga 80% solar panel di dunia adalah buatan China.

"Artinya, China pun thrifting perubahan iklim dengan akselerasi pertumbuhan ekonomi, tapi di satu sisi berkesempatan membangun kapasitas nasionalnya. Ketika itu tercapai, China membangun lagi kekuatan EBT, bukan hanya domestik, tapi juga internasional," jelas Darmawan.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Aturan PLTS Atap Diubah, Pemakai Tak Bisa Jual Listrik ke PLN

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular