RI Gadangkan PLTS, Tapi yang Untung China!

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
02 November 2021 10:20
Pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Gedung Bertingkat. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Gedung Bertingkat. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) digadang-gadang bisa menjadi salah satu langkah untuk mengejar bauran energi baru terbarukan (EBT). Oleh karena itu, pemanfaatannya terus didorong oleh pemerintah untuk mencapai target bauran EBT sebesar 23% pada 2025.

Sayangnya, RI belum punya pabrikan yang memadai untuk memproduksi solar panel. Saat ini mayoritas solar panel di dunia adalah buatan China, mencapai sekitar 70%-80%.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov berpandangan, pemerintah tidak perlu terburu-buru mendorong pemanfaatan PLTS. Pasalnya, kondisi objektif saat ini PT PLN (Persero) sedang mengalami surplus listrik.

Menurutnya, mendorong pemanfaatan PLTS akan ada konsekuensi yang harus ditanggung PT PLN (Persero) selaku operator kelistrikan di negeri ini. Dalam hal ini, Abra menyebut pihak swasta lah yang akan diuntungkan karena solar panel masih didominasi impor.

"Jadi untuk kondisi saat ini industri komponen PLTS Atap masih minim, yang diuntungkan industri di luar negeri, khususnya China, yang suplai khususnya modul dan baterai untuk produk PLTS," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Senin (01/11/2021).

Komponen PLTS yang masih banyak disuplai dari impor menurutnya adalah modul dan baterai. Karena sebagian besar komponen PLTS masih diimpor, dia pun menyarankan agar pemerintah mendorong industri komponen di dalam negeri dibangun terlebih dahulu sebelum menggencarkan PLTS.

"Kencangkan dulu di dalam negeri, saat penggunaan PLTS masih sesuai RUPTL komponen ini bersumber dari dalam negeri," ujarnya.

Apabila RI mendorong industri komponen dalam negeri, imbuhnya, maka akan berdampak pada peningkatan nilai tambah industri. Dalam hal ini, industri mineral akan semakin termanfaatkan jika pabrik panel surya ini dibangun di dalam negeri.

"Sudah terbentuk BUMN baterai itu kan juga jadi backbone dorong pengembangan PLTS di dalam negeri, karena masih adanya sifat intermittent," paparnya.

Sebelumnya, Wakil Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo mengungkapkan pada 2001 China telah menerapkan bauran energi (energy mix), di mana 50% menggunakan energi fosil dan 50% dari EBT.

Kemudian pada 2019, pembangkit batu bara justru meningkat, mendekati 86%. Artinya, di saat itu China menekankan pertumbuhan ekonomi, tapi tidak menekankan pada keberlanjutan lingkungan karena hanya memikirkan energi murah.

Namun, kata Darmawan, di saat bersamaan China membangun kekuatan yang didominasi dengan produk-produk EBT, dan saat ini hampir 70% hingga 80% solar panel di dunia adalah buatan China.

"Artinya, China pun thrifting perubahan iklim dengan akselerasi pertumbuhan ekonomi, tapi di satu sisi berkesempatan membangun kapasitas nasionalnya. Ketika itu tercapai, China membangun lagi kekuatan EBT, bukan hanya domestik, tapi juga internasional," jelas Darmawan.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Hati-Hati Garap Energi Hijau Kalau Ujung-ujungnya Impor Besar

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular