Hati-Hati Garap Energi Hijau Kalau Ujung-ujungnya Impor Besar

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
01 November 2021 18:10
Pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Gedung Bertingkat. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Gedung Bertingkat. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah memiliki target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025 mendatang. Salah satu langkah yang dilakukan demi mempercepat pencapaian bauran energi adalah dengan mendorong pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Namun sayangnya, sebagian besar komponen PLTS saat ini masih berasal dari impor.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov mengatakan, meski nanti beralih ke energi terbarukan, namun ini menunjukkan RI masih ketergantungan pada impor.

"Jangan juga terlena mengesankan kita berkomitmen energi terbarukan, tapi sebenarnya di sisi lain pisau bermata dua, kita dorong, tapi komponen sumber listriknya bergantung pada impor," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Senin (01/11/2021).

Menurut Abra, kondisi seperti itu cukup berbahaya, karena meski bauran energi tercapai dan terjadi transisi, akan tetapi kedaulatan energi di Tanah Air menjadi terancam.

Dia pun berpandangan, idealnya pemerintah mendorong terlebih dahulu produksi komponen PLTS di dalam negeri.

"Bahaya dengan struktur industri seperti itu. Kedaulatan energi ini jadi ancaman energi Tanah Air," paparnya.

Lebih lanjut dia berpandangan, syarat fundamental dalam mendorong akselerasi pemanfaatan PLTS yaitu penguasaan industri dalam negeri dari sisi hulu.

"Sebab saat ini faktanya industri komponen PLTS domestik, khususnya modul surya, masih di fase assembly penghasil modul surya, jadi tidak murni produksi dalam negeri," lanjutnya.

Sebelumnya, Wakil Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo mengungkapkan pada 2001 China telah menerapkan bauran energi (energy mix), di mana 50% menggunakan energi fosil dan 50% dari EBT.

Kemudian pada 2019, pembangkit batu bara justru meningkat, mendekati 86%. Artinya, di saat itu China menekankan pertumbuhan ekonomi, tapi tidak menekankan pada keberlanjutan lingkungan karena hanya memikirkan energi murah.

Namun, kata Darmawan, di saat bersamaan China membangun kekuatan yang didominasi dengan produk-produk EBT, dan saat ini hampir 70% hingga 80% solar panel di dunia adalah buatan China.

"Artinya, China pun thrifting perubahan iklim dengan akselerasi pertumbuhan ekonomi, tapi di satu sisi berkesempatan membangun kapasitas nasionalnya. Ketika itu tercapai, China membangun lagi kekuatan EBT, bukan hanya domestik, tapi juga internasional," jelas Darmawan.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sah! ESDM Terbitkan Aturan Baru Soal TKDN Pembangkit-Jaringan Listrik

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular