Internasional

Krisis Energi Hantam Dunia: Eropa, China, India, Jepang ke AS

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
15 October 2021 06:50
Amerika Serikat
Foto: Bendera Tiongkok dan AS berkibar di dekat Bund, jelang delegasi perdagangan AS bertemu dengan China di Shanghai, Cina 30 Juli 2019. REUTERS / Aly Song

China

Sementara itu di China, krisis energi di Negeri Panda diprediksi bakal makin parah. Pasalnya bencana banjir menghantam pusat produksi batu bara utama di China, Provinsi Shanxi.

Mengutip Biro Manajemen Darurat provinsi, hujan lebat memaksa penutupan 60 tambang batu bara di provinsi tersebut, di mana seperempat dari produksi 'emas hitam' dihasilkan. Sekitar 1.900 bangunan hancur dan 1,75 juta warga terkena dampak.

Hal ini membuat harga batu bara terma berjangka, terutama untuk menghasilkan listrik, melonjak ke level tertinggi sepanjang masa Senin (11/10/2021) lalu di pasar komoditas setempat Zhengzhou Commodity Excahnge. Harganya naik dua kali lipat sepanjang tahun ini, sebanyak 12% menjadi 1.408 yuan (US$ 219) per metrik ton.

Padahal batu bara adalah sumber energi utama di China, baik untuk pemanas, pembangkit listrik maupun pembuat baja. Tahun lalu, batu bara mendominasi total penggunaan energi China, hingga 60%.

Ini diyakini membuat listrik warga makin sulit di tengah musim dingin yang mulai melanda. Setidaknya krisis energi di China sudah melebar ke 20 provinsi dalam beberapa pekan terakhir dan menyebabkan penjatahan listrik oleh pemerintah baik ke konsumen rumah tangga ataupun industri.

Amerika Serikat

Krisis energi global nyatanya sudah mulai dirasakan di Amerika Serikat (AS). Hal ini terlihat dari proyeksi penyedia energi pemanas negara itu yang menyebut akan ada kenaikan tarif pada musim dingin mendatang.

Dalam pernyataan Administrasi Informasi Energi AS (EIA), Rabu (13/10/2021), disebutkan bahwa kenaikan ini disebabkan oleh naiknya harga bahan bakar. Itu akibat permintaan yang melampaui suplai.

"Saat ini pertumbuhan permintaan energi umumnya melampaui pertumbuhan pasokan," kata Pejabat Administrator EIA Steve Nalley dalam rilisnya sebagaimana diwartakan Reuters.

"Dinamika ini menaikkan harga energi di seluruh dunia."

Hampir setengah dari rumah tangga AS bergantung pada gas alam untuk panas. Dengan biaya rata-rata untuk rumah tersebut diperkirakan akan naik 30% menjadi US$ 746 (Rp 10,6 juta) untuk periode Oktober-Maret dibanding bulan yang sama di tahun 2020, yang masih berada dalam kisaran US$ 573 (Rp 8,15 juta).

Sebelumnya hal yang sama juga disampaikan beberapa perusahaan utilitas. Mereka mencemaskan defisit bahan bakar benar-benar terjadi pada musim dingin ini dan memicu pemadaman.

"Utilitas khawatir aset yang mereka miliki tidak bisa mendapatkan bahan bakar yang cukup," kata Chief Executive Officer XcoalEnergy & Resources LLCErnie Thrasher, dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg.

Untuk menutup defisit ini, beberapa penyedia layanan utilitas telah beralih ke batu bara. Diperkirakan Negeri Paman Sam akan mengalami kenaikan konsumsi bahan bakar dengan polutan tinggi itu hingga 23.%.

Ini cukup bertentangan dengan komitmen negara itu terhadap batu bara. Sebelumnya, Presiden AS Joe Biden menekankan janjinya dalam investasi sebesar US$ 2 miliar (Rp 28 triliun) untuk mendukung negara-negara berkembang agar beralih dari pembangkit listrik tenaga batu bara.

"Kami akan fokus pada percepatan kemajuan pada elektrifikasi dan baterai, hidrogen, penangkapan karbon, penggunaan dan penyimpanan, penerbangan dan pengiriman nol emisi, dan bagi negara-negara yang memilih untuk menggunakannya, tenaga nuklir," ucap Biden dan pemimpin negara G7 lainnya dalam KTT Juni lalu.

(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular