Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis energi kini melanda kawasan Eropa dan sejumlah negara dunia seperti Inggris, China dan India. Ini akibat kenaikan harga gas alam, yang melonjak hingga 250% sejak Januari, dan kelangkaannya di benua Eropa.
Ini mengerek kenaikan harga komoditas energi lain, termasuk minyak dan batu bara. Lalu bagaimana cerita krisis energi ini menyerang sejumlah negara?
Berikut rangkuman CNBC Indonesia:
Uni Eropa
Harga gas alam di Eropa enam kali lebih tinggi dari tahun lalu dan sekitar empat kali lebih tinggi dari musim semi lalu. Ini disebabkan meningkatnya permintaan secara global ketika banyak negara mulai kembali roda perekonomian mereka dan keluar dari lockdown terkait pandemi.
Musim dingin yang lebih panjang tahun lalu dan persaingan dari negara-negara Asia Timur untuk gas juga mempengaruhi kenaikan harga. Sementara itu ada juga masalah di ujung pasokan.
Masalah muncul akibat perawatan yang tertunda dan investasi yang lebih sedikit dari biasanya. Harga gas ini pada gilirannya menentukan harga di pasar listrik, karena lebih dari seperlima listrik Eropa berasal dari gas alam.
Uni Eropa (UE) sangat bergantung pada impor gas alam yang datang dari luar blok, karena produksi dalam negeri menurun. Data kantor statistik Eurostat memaparkan UE harus mengimpor hampir 90% gas alamnya dari luar blok pada 2019.
Rusia adalah pengekspor gas alam terbesar ke dalam blok tersebut, mewakili setidaknya 43,4% impor dari luar Uni Eropa pada tahun 2020, diikuti oleh Norwegia.
Terkait krisis ini, Eropa juga mulai menyalahkan Rusia. Parlemen Eropa telah menulis surat yang "menuduh" perusahaan Rusia, Gazprom, memanipulasi harga gas. Dalam surat tuduhan itu, para anggota parlemen itu menyebut bahwa berkurangnya aliran gas merupakan upaya Moskow untuk menekan Eropa agar mau mengaktifkan pipa gas Nord Stream 2.
Pipa gas Nord Stream 2 yang menjalar dari Rusia ke Jerman melalui Laut Baltik itu merupakan salah satu proyek antara kedua negara yang telah diselesaikan. Namun Jerman menolak aktivasinya akibat adanya sanksi dari mitra strategis UE, Amerika Serikat (AS), terhadap Rusia.
Presiden Rusia Vladimir Putin pasang badan soal ini. Ia menuding balik Eropa, yang disebutnya membuat kesalahan dengan mengurangi kesepakatan jangka panjang terkait perdagangan gas alam dan memilih membelinya di pasar spot.
Halaman 2>>
Krisis energi yang terjadi di Inggris adalah efek dari kenaikan dan kelangkaan gas di Eropa. Sampai kini, krisis belum teratasi sepenuhnya.
Hal ini terlihat dari banyaknya keluhan pengusaha Negeri Ratu Elizabeth itu. Terutama ketika biaya energi masih membubung tinggi.
Pengusaha yang tergabung dalam Kelompok Pengguna Intensif Energi Inggris (EIUG) meminta regulator energi Ofgem untuk mengatasi kenaikan harga energi ini. Pihaknya menyebut banyak bisnis yang mulai terancam dengan harga energi yang melambung ini.
"Masalahnya bukan hanya apakah pasokan gas dan listrik akan tersedia tetapi juga salah satunya terkait harga. Industri padat energi bisa saja dikeluarkan dari pasar," kata EIUG dalam sebuah laporan Reuters.
EIUG, yang mewakili perusahaan-perusahaan seperti produsen baja, bahan kimia, pupuk, kertas, kaca dan semen, telah mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan darurat untuk memastikan pasokan energi tidak terputus dan terkirim dengan harga terjangkau.
"Dalam jangka panjang, kami mencari tinjauan mendasar dari kumpulan biaya dekarbonisasi gas dan listrik yang tidak kompetitif yang kami hadapi, yang merusak kemampuan kami untuk bersaing secara internasional," tambah kelompok industri itu.
Rekor harga energi yang tinggi di Inggris telah menyebabkan beberapa perusahaan industri, seperti pembuat baja dan pabrik pupuk, untuk membatasi produksi dan menyebabkan peringatan kekurangan pangan musim dingin ini.
Sementara itu harga listrik pada musim dingin ini diperkirakan akan melebihi harga pada musim dingin tahun lalu karena harga gas telah mencapai serangkaian rekor tertinggi. Tercatat tarif listrik rumahan sudah mencapai 475 pound atau sekitar Rp 9,3 juta.
Kenaikan ini sendiri dipicu oleh serangkaian faktor, termasuk berkurangnya pasokan dari Rusia dan kenaikan biaya polusi. Ini akhirnya diteruskan langsung kepada konsumen yang berimbas pada naiknya harga barang.
Halaman 3>>
Sementara aktivitas pabrik China menyusut akibat pembatasan penggunaan listrik. Sebuah survei yang dirilis akhir September lalu, sebagaimana dikutip dari Guardian, menunjukkan aktivitas pabrik China mengalami kontraksi pada September.
Ini pertama kali terjadi kepada China sejak pandemi melanda pada Februari 2020. Angka-angka menunjukkan bahwa output turun akibat perlambatan produksi di industri yang mengkonsumsi energi tinggi, termasuk logam dan produk minyak.
Krisis listrik di China terjadi ketika permintaan energi negara itu melonjak melewati tingkat pra-pandemi. Namun, pembatasan impor batu bara dari Australia akibat pertikaian politik, menekan pasokan komoditas itu.
Sebelumnya krisis energi ini juga terhubung dengan ambisi pemerintah dalam mengurangi emisi karbon pada 2030. Presiden China Xi Jinping berencana untuk mulai menghentikan operasional pembangkit batu bara dan menggantinya dengan energi terbarukan.
Namun untuk mencapai target itu, dibutuhkan pembangunan 100 gigawatt pembangkit tenaga surya dan 50 gigawatt tenaga angin setiap tahun untuk menyeimbangkan kenaikan konsumsi sebesar 5%. Hal ini jauh dari pertumbuhan energi terbarukan tahunan China yang baru mencapai setengah dari itu.
Sementara itu, untuk mengamankan krisis listrik agar tak semakin gawat, Gubernur Provinsi Jilin Han Jun, berjanji akan meningkatkan meningkatkan pasokan listrik lokal dengan memperbesar skala impor batu bara. China, diketahui merupakan konsumen batu bara terbesar saat ini.
Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional (NDRC) juga mendesak perencana ekonomi lokal, administrasi energi dan perusahaan kereta api untuk meningkatkan transportasi batu bara. Pasalnya China sebentar lagi mendekati musim dingin, di mana kebutuhan energi untuk pemanas juga meningkat.
"Setiap perusahaan kereta api harus memperkuat transportasi batu bara ke pembangkit listrik dengan persediaan kurang dari tujuh hari dan meluncurkan mekanisme pasokan darurat tepat waktu," kata NDRC
Terbaru, untuk mengatasi krisis energi, China mulai melepas stok batu bara Australia yang dimiliki. Sebelumnya banyak batu bara tertahan di pelabuhan China karena ketegangan kedua negara.
Halaman 4>>
Sementara itu, India juga mengalami krisis energi. Puluhan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Negeri Bollywood itu mulai menyatakan stok batu baranya hanya cukup untuk beberapa hari ke depan, dan bahkan ada juga yang telah kosong.
Sebagaimana dilaporkan CNN, Central Electricity Authority (CEA) India mengatakan, 63 dari 135 PLTU di India hanya memiliki pasokan batu bara untuk dua hari. Dari jumlah itu, 17 di antaranya sudah kehabisan stok.
"Meskipun pembangkit ini tidak akan offline dalam hitungan hari, pembangkit ini sangat rentan terhadap gangguan lebih lanjut terhadap pasokan batu bara atau lonjakan permintaan," ujar lembaga itu.
Permintaan listrik telah melonjak di India karena bisnis pulih pasca gelombang brutal Covid-19 awal tahun ini. Kementerian kelistrikan India mengatakan, meningkatnya permintaan listrik sebenarnya adalah pertanda baik bagi perekonomian. Ini menandakan banyak warga yang semakin mampu untuk membeli alat-alat elektronik.
" Permintaan tidak akan hilang, itu akan meningkat," kata Menteri Kelistrikan R.K. Singh kepada The Indian Express.
"Kami sudah menambah 28,2 juta konsumen. Kebanyakan dari mereka adalah kelas menengah ke bawah dan miskin, jadi mereka membeli kipas angin, lampu, televisi."
Tarif dasar listrik juga dilaporkan naik di beberapa lokasi, dengan rata-rata kenaikan sebesar 4,4 rupee (Rp 8.400) per Kwh. Ini terjadi mengingat pasokan batu bara tidak sebanding dengan permintaan listrik yang dibutuhkan telah menaikan harga bakan bakar itu.
India adalah importir batu bara terbesar kedua di dunia. Pasalnya kelistrikan negara itu dipacu 70% oleh PLTU batu bara. Meski, negeri Hindustran ini memiliki cadangan batu bara terbesar keempat dunia.