Internasional

Krisis Energi Dunia Makan Korban Baru: Amerika Serikat!

News - Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
14 October 2021 09:30
Pedestrians on the Magnificent Mile use their hoods to shield their faces as a winter storm moves through the Chicago area, Saturday, Jan. 11, 2020.   Freezing rain left roads and trees glazed with ice Saturday across parts of northern Illinois as a winter storm packing a mixed bag of precipitation cut power to about 5,000 homes and businesses across the region.  (Ashlee Rezin Garcia /Chicago Sun-Times via AP) Foto: Musim dingin di daerah Chicago. (Ashlee Rezin Garcia /Chicago Sun-Times via AP)

Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis energi global nyatanya sudah mulai dirasakan di Amerika Serikat (AS). Hal ini terlihat dari proyeksi penyedia energi pemanas negara itu yang menyebut akan ada kenaikan tarif pada musim dingin mendatang.

Dalam pernyataan Administrasi Informasi Energi AS (EIA), Rabu (13/10/2021), disebutkan bahwa kenaikan ini disebabkan oleh naiknya harga bahan bakar. Itu akibat permintaan yang melampaui suplai.

"Saat ini pertumbuhan permintaan energi umumnya melampaui pertumbuhan pasokan," kata Pejabat Administrator EIA Steve Nalley dalam rilisnya sebagaimana diwartakan Reuters.

"Dinamika ini menaikkan harga energi di seluruh dunia."

Hampir setengah dari rumah tangga AS bergantung pada gas alam untuk panas. Dengan biaya rata-rata untuk rumah tersebut diperkirakan akan naik 30% menjadi US$ 746 (Rp 10,6 juta) untuk periode Oktober-Maret dibanding bulan yang sama di tahun 2020, yang masih berada dalam kisaran US$ 573 (Rp 8,15 juta).

Sebelumnya hal yang sama juga disampaikan beberapa perusahaan utilitas. Mereka mencemaskan defisit bahan bakar benar-benar terjadi pada musim dingin ini dan memicu pemadaman.

"Utilitas khawatir aset yang mereka miliki tidak bisa mendapatkan bahan bakar yang cukup," kata Chief Executive Officer XcoalEnergy & Resources LLCĀ Ernie Thrasher, dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg.

Untuk menutup defisit ini, beberapa penyedia layanan utilitas telah beralih ke batu bara. Diperkirakan Negeri Paman Sam akan mengalami kenaikan konsumsi bahan bakar dengan polutan tinggi itu hingga 23.%.

Ini cukup bertentangan dengan komitmen negara itu terhadap batu bara. Sebelumnya, Presiden AS Joe Biden menekankan janjinya dalam investasi sebesar US$ 2 miliar (Rp 28 triliun) untuk mendukung negara-negara berkembang agar beralih dari pembangkit listrik tenaga batu bara.

"Kami akan fokus pada percepatan kemajuan pada elektrifikasi dan baterai, hidrogen, penangkapan karbon, penggunaan dan penyimpanan, penerbangan dan pengiriman nol emisi, dan bagi negara-negara yang memilih untuk menggunakannya, tenaga nuklir," ucap Biden dan pemimpin negara G7 lainnya dalam KTT Juni lalu.


[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya

Bukan Rusia, AS Bakal Jatuh ke Lubang Resesi


(sef/sef)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading